Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:
Nilai politik: berakhirnya “the end of ideology”?
Label-label ideologi, kapitalisme, komunisme, sekular, nasionalis, menjadi kosa-kata yang umum dalam obrolan politik. Para pengamat menggunakan istilah tersebut untuk mengidentifikasi perilaku pemilih, para praktisi politik menggunakannya untuk melabelkan partai dan karakteristik konstituennya. Bahkan kitapun menggunakan istilah-istilah tersebut untuk melabelkan perilaku kita sendiri. Apapun tujuannya, istilah-istilah tersebut digunakan untuk merepresentasikan preferensi politik tertentu.
Ideologi telah mati, demikian tesis Daniel Bell tentang peran ideologi bagi masyarakat modern. Beberapa kerja ilmiah mengkonfirmasi hal ini [4]. Dalam studi politik, ideologi jadi salah satu proksi yang digunakan untuk mendekati “kotak hitam” kecenderungan seseorang ketika menentukan pilihan politiknya. Kenyataannya, individu jarang sekali bisa mengasosiasikan karakteristik suatu kebijakan dengan pilihan partai dan ideologi tertentu.
Faktanya sederhana, mayoritas rakyat bukan ahli politik yang bisa dengan mudah melihat keterkaitan antara sebuah isu dengan ideologi tertentu. Di satu sisi, kebanyakan orang awam dalam soal politik, juga tidak punya waktu yang cukup untuk memikirkannya lebih mendalam. Tapi di sisi lain, terdapat kenyataan bahwa individu mampu mengorganisasikan pengetahuannya yang terbatas untuk menilai, beropini ataupun menentukan keberpihakannya pada saat polemik terjadi [7].
Gambar 1. Daniel Bell, "The End of Ideology"
Setiap hari kita dihadapkan pada begitu banyak pilihan yang harus diputuskan. Tentu hal ini sangat berat mengingat keterbatasan kapasitas kognitif yang kita miliki. Bayangkan anda masuk ke sebuah restoran yang baru pertama kali anda kunjungi. Daftar menu makanan di restoran tersebut sangat bervariasi dan dilengkapi pula dengan keterangan berupa nilai gizi, kelebihan bahkan sejarahnya. Tentu saja sangat sulit untuk membandingkan dan mengoptimasi semua pilihan yang tersedia. Cara yang paling sederhana adalah: anda memilih makanan yang biasa anda pesan di restoran lain; anda memesan makanan yang sama dengan teman anda; anda akan memesan menu unggulan restoran tersebut; atau anda mengikuti anjuran dari pelayan restoran.
Prinsipnya, setiap orang akan berupaya menyederhanakan kompleksitas dari pilihan yang dihadapi. Dalam banyak hal, apa yang menjadi kebiasaan, tradisi ataupun norma masyarakat membuat kita sebenarnya tidak perlu benar-benar berpikir panjang pada saat menentukan pilihan. Kultur menyediakan acuan bagi individu dalam menentukan pilihannya sekaligus
Gambar 2. Visualisasi moral dasar Heidt [1]
Sejumlah perkembangan di dalam kajian psikologi evolusioner membuka peluang untuk menarik konsep kerangka kultural ini ke wilayah subyektif moral individu [2,4]. Dihipotesiskan terdapat struktur mental, yang berfungsi sebagai standar internal untuk menilai segala hal yang ada di sekitarnya. Haidt mengusulkan lima moral dasar yang secara universal dimiliki oleh setiap orang individu, yakni Harm, Fairness, In group, Authority, Purity [1]. Dengan pendekatan ini, Haidt menjelaskan mengapa kelompok liberal dan konservatif di Amerika sulit untuk bisa saling memahami satu sama lain. Sederhananya, kedua kelompok ini berbicara dalam bahasa moral yang berbeda saat merespon isu yang sama.
Apakah individu memiliki ideologi dan apakah individu dapat memenuhi sejumlah kriteria yang dideduksi dari ideologi yang ada merupakan dua pertanyaan yang berbeda. Bell menjawab pertanyaan yang kedua, sedangkan beberapa temuan di dalam kajian psikologi evolusioner mengkonfirmasi pertanyaan yang pertama. Dengan demikian, jika kita mengembalikan pemahaman ideologi sebagai struktur mental, nilai dan moral yang menentukan cara individu memahami dunia ideologi, terlepas apakah perilaku tersebut konsisten dengan konstruksi ideologi yang kita kenal, maka sebenarnya era ideologi tidak pernah berakhir.
Spektrum nilai politik orang Indonesia
Bagaimana cara untuk memetakan spektrum nilai politik orang Indonesia? Seperti diungkapkan pada bagian sebelumnya, kita akan memperlakukan ideologi sebagai sistem nilai, bukan doktrin politik. Sebagai acuan, kita menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kita mengasumsikan bahwa Pancasila merupakan representasi dari nilai politik orang Indonesia [6]. Menariknya, kelima nilai yang terkandung dalam Pancasila sepadan dengan lima moral dasar yang didefenisikan oleh Heidt [1].
Tabel 1. Pancasila dan lima moral dasar menurut definisi Heidt
Pancasila |
Moral dasar |
Kebajikan |
|
Nilai
|
Afinitas terhadap kehidupan beragama: |
Purity |
|
Nilai Kemanusiaan |
Soal hak asasi individual:
|
Harm |
|
Nilai Persatuan |
Soal hidup bersama dalam masyarakat dan Negara
|
In group |
|
Nilai |
Soal kebebasan ekspresi, kerja sama dan muswarah mufakat
|
Authority |
|
Nilai Keadilan |
Soal kehidupan ekonomi yang berkeadilan:
|
Fairness |
|
Kita mengadaptasi model Kuntowijoyo untuk mengkonstruksi spektrum nilai politik orang Indonesia. Kuntowijoyo memetakan kondisi masyarakat berdasarkan dua sumbu orientasi, yakni etis-esoteris dan tradisional-modern [5]. Menurutnya, perubahan dalam masyarakat merupakan proses sejarah yang tidak terelakan. Dari corak masyarakat yang terikat oleh bentuk solidaritas mekanis dan komunal ke arah masyarakat modern dengan bentuk solidaritas yang organis dan asosiasional. Dalam proses tersebut individu dengan karakteristik etis maupun esoteris, terkait kedalaman pemahaman, pengetahuan serta kebijakan seseorang dalam menjalani kehidupannya, akan memunculkan pola perilaku yang berbeda. Masyarakat awam yang tadinya sederhana dan cenderung emosional akan berkembang menjadi lebih rasional dalam menentukan pilihan-pilihannya. Sementara secara esoteris, pikiran mistik masyarakat tradisional cenderung berubah menjadi asketisme modern.
Gambar 3. Model Kuntowijoyo diadaptasi menjadi model nilai politik
Di sini akan digunakan dua sumbu orientasi yang masing-masing mewakili dimensi “sumber nilai” dan dimensi “metode”. Dimensi “sumber nilai” menunjukkan dari mana individu mendapatkan prinsip-prinsip moralitasnya dalam hidup. Dimensi ini terepresentasi dalam kontinum etis-esoteris, sebagai berikut:
Individu dengan sumber moralitas seperti ini akan menunjukan kepatuhan pada sesuatu yang memiliki otoritas moral yang lebih tinggi (orang tua, pemimpin, mistik, masyarakat, negara). Negara dipahami sebagai entitas politik yang mengayomi manusia. Artinya, ada dimensi yang sifatnya spritual di dalam entitas kolektif seperti negara, atau masyarakat. Sikap patriotik dan heroik adalah perilaku yang terpuji dalam sistem nilai ini [1].
Prinsip etis dari sistem nilai ini menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak sekaligus tanggung jawab untuk menentukan pilihan dan memberikan makna pada kehidupannya sendiri. Sementara negara adalah entitas organis yang muncul dari keinginan dan aspirasi bersama warganya. Pusat dari negara adalah individual.
Gambar 4. Sumber nilai dan metode
Dimensi kedua adalah dimensi “metode”. Dimensi ini memetakan posisi individu berdasarkan perspektifnya dalam memahami masyarakat serta cara yang diyakini bisa mewujudkan nilai-nilai idealistiknya dalam masyarakat. Dimensi ini terepresentasi dalam kontinum “progresif-konservatif”, sebagai berikut:
Tabel 2. Kuadran nilai politik
Progresif Esoteris
|
Konservatif Esoteris
|
Progresif etis
|
Progresif Etis
Kepatuhan hanya pada Tuhan (religius)
|
Gambar 5. Varian sistem nilai
Gambar 6. Kecenderungan Ideologi
Lampiran keterangan tiap kuadran
Konservatif esoteris adalah sistem nilai yang terbentuk dari dimensi esoteris sebagai sumber nilai dan dimensi konservatif sebagai cara yang ditempuh untuk mewujudkan nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Sebagaimana dengan sistem nilai konservatif etis, individu dalam sistem nilai konservatif esoteris menempatkan tradisi, sejarah masa lalu suatu masyarakat pada posisi yang istimewa. Keberadaan tradisi dan kebiasaan yang mampu bertahan dalam waktu lama dalam masyarakat secara praktis menunjukan bahwa hal itu memiliki nilai manfaat bagi masyarakat [8]. Sistem nilai ini tidak menolak perubahan sepanjang hal tersebut sejalan dengan sistem nilai dari masyarakat itu sendiri [9]. Proses perubahan yang ideal seharusnya berlangsung secara gradual dan tidak memberikan goncangan yang mengganggu kestabilan kehidupan masyarakat [10].
Sistem nilai ini menolak pemujaan pada rasionalitas karena pada dasarnya manusia bukanlah mahluk yang sepenuhnya rasional [9]. Pengetahuan dan informasi yang terbatas serta proses sosial dan kesejarahannya secara natural memberikan batas pada horison dari setiap individu dalam memahami dunia. Dalam konteks ini, tradisi dan kebiasaan yang sudah dijalani secara turun temurun menjadi pelengkap dari keterbatasan manusia. Nilai-nilai tradisi, agama, menjadi jadi sumber dari kebijaksanaan yang memberikan inspirasi tatanan dan pranata sosial yang seharusnya berlaku di masyarakat.
Keterikatan yang kuat pada tradisi dan sejarahnya membuat individu di dalam sistem nilai ini memahami konsep masyarakat, negara dan kepemimpinan dengan orientasi yang esoteristik. Masyarakat bukan sekedar kumpulan dari individu yang ada di dalamnya, melainkan sebuah artefak kultural yang muncul secara organis dari proses sosial yang panjang [12].
Demikian pula dengan konsep kepemimpinan yang merupakan salah satu artefak kultural yang terbangun sepanjang proses evolusi suatu masyarakat [1]. Hubungan rakyat dan pemimpinnya tidak lagi sesederhana dalam teori demokrasi, tetapi menjadi penuh nuansa yang transendental, terkait konsep kebajikan, kebijaksanaan, keluruhan budi, dan kewibawaan dari seorang pemimpin. Sementara di sisi lain, kebajikan bagi rakyat adalah kepatuhan dan rasa hormat kepada pemimpinnya. Konsekuensinya, subordinasi dan disloyalitas menjadi hal yang tidak patut untuk dilakukan. Dalam konteks ini, sistem nilai ini mentoleransi adanya ketidaksetaraan antar individu dan menerima konsep otoritas dan hirarki sosial sebagai produk natural dari sejarah masyarakat yang harus dihormati. Hal inilah yang membedakan sistem nilai ini dengan sistem nilai konservatif etis.
Konservatif etis adalah sistem nilai yang terbentuk dari dimensi etis sebagai sumber nilai dan dimensi konservatif sebagai perspektif yang dipercayai dapat mewujudkan nilai-nilai ideal dalam bermasyarakat. Dimensi konservatif dari sistem nilai ini menekankan bahwa kebijaksanaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik mesti bersumber pada nilai-nilai yang hakiki yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Eksistensi individu tidak dapat dipisahkan dalam konteks sistem nilai dari masyarakat di mana ia berada. Ini karena individu tumbuh dan memaknai kehidupannya di dalam konsteks sistem nilai tersebut. Dengan kata lain, dalam perspektif konservatif, konsepsi humanisme universal yang menjadi landasan dari bangunan filosofi progresif membuat individu teralienasi dari sistem sosialnya [10].
Demikian pula dengan kekhawatiran dari kelompok-kelompok religius yang memandang bahwa modernitas berdampak pada hilangnya dimensi spiritual dari individu [13]. Ini karena modernitas hanya menekankan pada otoritas nalar dan rasionalitas individu dalam kehidupannya. Namun ini tidak berarti penolakan terhadap semua aspek dari modenitas, karena respon kelompok konservatif religius terhadap modernitas juga beragam. Dalam konteks gerakan keagamaan di Indonesia, misalnya, kita mengenal kategori Islam tradisional dan Islam modernis [14,15]. Islam modernis diidentifikasi sebagai aliran yang terbuka terhadap kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan modern dan menganggap bahwa penggunaan akal dan prinsip-prinsip rasionalitas sesuatu yang inheren dari Islam.
Dimensi etis dalam sistem nilai ini membentuk pemahaman terkait konsep kepemimpinan, masyarakat dan negara yang berbeda dengan sistem nilai konservatif esoteris. Konsep otoritas dalam sistem nilai konservatif esoteris mempunyai tendensi sentralistik yang menuntut loyalitas yang absolut. Tidak demikian halnya dengan sistem nilai konservatif etis. Dalam Islam, misalnya, otoritas itu terdesentralisasi sedemikian rupa pada ulama dan tokoh agama. Sementara otoritas inipun terikat oleh aturan-aturan agama dimana kepatuhan adalah refleksi dari ketundukan pada otoritas spritual yang lebih tinggi di luar manusia.
Demikian pula halnya dengan persoalan loyalitas kepada negara [16]. Islam, misalnya, selain memiliki dimensi keyakinan dan dimensi sosial keumatan dalam ritual peribadatan, juga memiliki dimensi politik terkait soal hukum dan etika yang mengatur relasi antar individu dalam masyarakat. Problem muncul ketika negara sebagai institusi yang berdaulat berdasarkan hukum dan konstitusi berbenturan dengan agama sebagai sebuah konsepsi politik kenegaraan. Ekspresinya bisa beragam, mulai dari keinginan mendirikan negara agama maupun penerapan hukum agama dalam masyarakat.
Progresif esoteris adalah sistem nilai yang merupakan perpaduan antara sumber nilai yang esoteris dan pendekatan progresif dalam mewujudkan nilai-nilai idealnya dalam masyarakat. Dimensi progresif mencirikan bahwa individu dengan sistem nilai mempunyai keterbukaan cara pandang. Prinsip-prinsip rasionalitas ilmu pengetahuan dan kritisisme menjadi landasan utama dari upaya untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan. Tradisi tidak diabaikan karena memang setiap individu dibentuk oleh situasi masyarakatnya [9]. Namun hukum perubahan yang tidak terhindarkan memacu individu untuk selalu memodernisasi dirinya, mengeksplorasi dan memanfaatkan hal baru untuk mewujudkan nilai idealitasnya. Hal ini yang membedakan dengan sistem nilai konservatif yang mempertahankan dan mencari kebijakan didalam tradisi sebagai landasan untuk memajukan masyarakat.
Individu dalam sistem nilai progresif esoteris dengan optimis memandang bahwa setiap orang pada dasarnya diberkahi kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Bahwa secara natural setiap orang mempunyai potensi dan kemampuan berbeda tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan prinsip persamaan dan kesetaraan antar individu. Prinsip kebebasan dan persamaan menjadi fondasi dari sistem nilai ini.
Sistem nilai ini juga menekankan pentingnya semangat kerja sama dan solidaritas sosial untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kepentingan bersama harus lebih diutamakan daripada kepentingan individual. Prinsipnya, mensejahterakan masyarakat berarti mensejahterakan individu yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, negara sebagai representasi kolektif seluruh rakyat melayani kepentingan masyarakat, bukan individu. Hal ini yang membedakan sistem nilai progresif esoteris dengan sistem nilai progresif etis.
Progresif etis adalah sistem nilai yang merupakan perpaduan antara perspetif etis dalam memandang sistem sosial dan pendekatan yang progresif untuk mewujudkan nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Dimensi progresif pada sistem nilai ini mewujud dalam cita-cita tentang masyarakat yang bebas atas dasar penghormatan pada hak-hak individual. Seperti halnya dengan sistem nilai progresif yang esoteris, prinsip rasionalitas ilmu pengetahuan dan kritisisme menjadi landasan utama dari upaya untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan. Dalam sistem nilai ini, tradisi dan keyakinan tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia. Keterbukaan terhadap hal-hal baru menjadikan tradisi tidak lagi bersifat dogmatis melainkan selalu terbuka terhadap penafsiran ulang. Sistem nilai ini menyokong sepenuhnya penggunaan prinsip-prinsip rasionalitan saintifik dan kritisisme sebagai alat untuk mengeksplorasi pengetahuan dalam kerangka pencarian jawaban atas berbagai problem manusia dan kemanusiaan.
Individu dalam sistem nilai progresif etis menekankan prinsip kebebasan sebagai nilai yang utama. Bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan hal yang terbaik untuk dirinya dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya [9]. Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, segala bentuk intervensi yang dapat menghambat upaya manusia untuk mengembangkan potensi dirinya harus dihilangkan.
Hal ini mengantarkan pada perspektif etis terhadap masyarakat dan negara. Pada dasarnya, titik pusat dalam kehidupan sosial adalah individu. Agar supaya kebebasan dan kemerdekaan individu tetap terjamin maka harus dibentuk undang-undang, hukum, parlemen, dan sebagainya. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun, dan atas kehendak individu suatu negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, proses sosial yang terjadi maupun institusi sosial yang terbentuk harus berdasarkan pada penghormatan kepada kebebasan dan kemerdekaan individu. Dimensi etis inilah yang membedakan sistem nilai progresif etis dengan sistem nilai progresif esoteris.
Referensi
Disampaikan pada @forumwiken “Manusia Indonesia di Era Pancasila” 25 Juni 2011 dan launching perangkat lunak (software) PANCASILA INTERACTIVE di Bataviase Novelles, Jakarta Pusat
Anggota DPR RI; Pembina Utama @paradenusantara (Persatuan Rakyat Desa Nusantara); dan Penggiat @forumwiken. Follow: @budimandjatmiko
Pancasila Interaktif - Nilai politik manusia Indonesia.pdf
Undang-Undang Desa lebih konkrit dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA tahun 1960 ngatur yang diatas tanah, ngatur sumber daya alam yang ada di bawah tanah.
Kita sedang menyaksikan bagaimana revolusi teknologi mengubah secara fundamental seluruh segi kehidupan masyarakat. Mulai dari cara kita hidup, bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Demikian pula dengan institusi-institusi sosial-ekonomi—politik yang mengatur kehidupan masyarakat..
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
Jika belum sempat bertemu dengan Megawati, Risma dapat memulai mengadukan masalahnya pada Komisi II DPR setelah mendapat izin dari PDI-P...
© 2023 Budiman Sudjatmiko • kontak / privacy policy / terms |