Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Asal-usul Kepemimpinan Politik
30 Nov -0001
Kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus bertumpang tindih dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput. Begitu juga perubahan-perubahan yang terjadi di akar rumput...

Dalam satu kesempatan, saya membincangkan pengaruh kepentingan bisnis terhadap kepemimpinan politik di Indonesia dengan dua politisi muda anggota DPR dari fraksi lain.

Kami menganalogikan pengaruh tersebut dengan keterlibatan bandar judi sepak bola. Dalam kasus Indonesia, jika diibaratkan dengan sepak bola, bandar-bandar judi memilih turun langsung bermain bola dan bertransaski di tengah-tengah lapangan hijau. Tidak lagi dari balik layar. Para pesepakbola sejati dicadangkan atau bahkan dikandangkan.

Logika serupa kerap terjadi di dunia politik Indonesia. Di sini para pebisnis dan spekulan bisnis memimpin proses politik di level partai dan negara, meskipun dengan latar belakang organisasi dan ide politik yang sangat minim.

Politisi dan Pebisnis
Dalam perbincangan tersebut kami menyitir sejumlah praktik berbeda di negeri-negeri demokrasi yang sudah matang, misalnya Inggris, Jerman dan Prancis. Di sana partai-partai secara sengaja menawarkan kepemimpinan yang dibesarkan lewat organisasi partai maupun gerakan-gerakan sosial akar rumput.

Fenomena ini bukan sekedar terjadi di partai-partai kiri atau kiri-tengah (Buruh, Sosialis dan Sosial-Demokrasi) yang memang banyak lahir dari gerakan sosial seperti serikat-serikat buruh. Di partai-partai kanan dan kanan-tengah yang dikenal pro bisnis sekalipun, seperti Konservatif, Kristen Demokrat maupun Persatuan untuk Republik, kepemimpinan politiknya lahir dari aktivis gerakan sosial maupun pegiat struktur kepartaian.

Jika pun ada pebisnis yang terlibat dalam politik, mereka menyadari bahwa karier politiknya paling maksimal adalah menjadi anggota parlemen dan tidak menjadi pimpinan politik di level negara maupun partai. Dalam tradisi politik negeri ini, urusan negara dan partai adalah "jatah" para intelektual-aktivis partai maupun gerakan sosial. Mereka adalah insan-insan yang biasa tertempa oleh kompleksitas ide-ide besar serta kompleksitas lapangan, baik partai maupun masyarakat (societal).

Ini terjadi karena memang sifat dan proses pengembangan karier politik itu berbeda logikanya dengan evolusi karier pebisnis. Jika karier gerakan dan politik itu menuntut kehadiran ide-ide besar tentang negara dan pergulatannya, maka evolusi bisnis berorientasi pada laba untuk kepentingan pribadi di level yang sangat mikro. Sukses politik tidak dilihat sebagai konsekuensi atau ganjaran sukses bisnis.

Gerakan Sosial
Perbincangan kami di atas mendorong saya untuk berrefleksi seperti ini: tiap-tiap manusia tidak bisa menghindari perubahan, baik di level individu maupun sosial. Agar berjalan dengan benar, perubahan sosial mensyaratkan kepemimpinan politik.

Kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus bertumpang tindih dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput. Begitu juga perubahan-perubahan yang terjadi di akar rumput harus berujung pada perubahan kepemimpinan politik untuk menjamin keberlangsungan dan keluasan dampaknya.

Pada level individu politisi, perubahan politik adalah dari tidak berkuasa menjadi berkuasa. Pada skala sosial, perubahan itu mau mengubah masyarakatnya, dari terbelakang menjadi maju, dari menderita menjadi sejahtera.

Contoh keinginan berubah dari tidak berkuasa menjadi berkuasa sering kita lihat dalam rupa sosok-sosok yang menawarkan diri menjadi pemimpin, baik itu bupati, gubernur, presiden atau wakil rakyat. Saat Pemilu 2009 pun saya terlibat di dalamnya. Dalam kasus ini yang dipertaruhkan adalah diri kami sendiri.

Pada momentum pemilu, masyarakat diminta memilih nama dan wajah. Sesekali ada tawaran ide, namun lebih sering tidak ada. Hal ini terjadi karena pola rekrutmen para calon wakil rakyat kerap tidak melewati proses kaderisasi ideologis.

Pada contoh perubahan yang berskala sosial lain ceritanya. Saya secara intens mendapatkan informasi kegiatan-kegiatan mereka. Salah satunya adalah ketika saya berpartisipasi dalam Festival Jawa Kidul yang diikuti 200 desa se-Jawa selatan. Mereka sedang mengubah wajah desa-desa Indonesia dengan teknologi yang ramah ingkungan, dirintis oleh pemuda-pemuda kota yang berkolaborasi dengan pemuda desa maupun kepala desa. Mereka berjuang untuk keadilan akses informasi melalui teknologi Open Source untuk membangun tertib pemerintahan desa.

Contoh yang lain adalah apa yang dilakukan oleh Gerakan Sejuta Data Budaya yang tanpa dana dari manapun secara diam-siam sudah mengumpulkan sekitar 20 ribu data budaya desa-desa Nusantara. Gerakan ini adalah untuk mengantisipasi agar produk-produk budaya Nusantara tidak mudah diklaim oleh pihak lain. Mereka juga menggunakan teknologi informasi dan geometri untuk mengidentifikasi kekerabatan "genetis sosial" produk-produk budaya Nusantara.

Kehadiran mereka adalah untuk melengkapi jejak-jejak perubahan desa yang sudah terlebih dahulu hadir di tanah air, dalam rupa perjuangan hak-hak keadilan agraria (reforma agraria) ataupun yang menuntut keadilan alokasi anggaran desa khususnya lewat UU Desa. Kerja-kerja perubahan serupa juga bisa kita temui di wilayah-wilayah perburuhan.

Mereka mengubah kondisi lapangan desa atau pabrik tempat mereka bekerja. Mereka orang-orang lapangan dengan ide besar tentang Indonesia.

Sayangnya kerja-kerja para pembuat perubahan di akar rumput ini tidak selalu lancar saat diterjemahkan menjadi perubahan dan kepemimpinan politik. Mereka kerap kalah saat mencoba menerjemahkan perubahan di akar rumput dan bersaing dengan pebisnis yang dengan logika bisnisnya memimpin politik partai dan negara.

Jika ini terus terjadi, kembali ke analogi sepak bola di atas, politik akan menyerupai transaksi antar bandar judi di tengah-tengah lapangan hijau untuk menentukan apakah bola yang sudah di depan gawang itu perlu dijadikan gol atau tidak. Tidak ada ide dan strategi avant garde ala Tiqui Taca atau Total Voetbaal politik yang lahir dari sana.

Karena itu harus ada revolusi berpikir untuk menata recruitment kepemimpinan politik kita, jika Indonesia tidak mau jadi seperti tikus putih yang bergerak memutar-mutar kandangnya tanpa beranjak kemana-mana.

 

Budiman Sudjatmiko
Anggota DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan

Print Friendly and PDF

Diskusi RUU Pertanahan bersama anggota Panja DPRRI RUU Pertanahan Budiman Sudjatmiko di Kantor Konsorsium Pembaharuan Agraria.

Label-label ideologi, kapitalisme, komunisme, sekular, nasionalis, menjadi kosa-kata yang umum dalam obrolan politik. Para pengamat menggunakan istilah tersebut untuk ....

UU Desa sendiri tidak hanya mengatur soal keuangan desa, yang hanya dibahas dalam 1 pasal, yang sisanya mengatur tentang pemerintahan desa dan kelembagaan desa...

"Dulu banyak orang yang ragu kalau kita bisa menjatuhkan Orde Baru. Jauh lebih banyak yang ragu pada waktu itu. Toh saya dengan teman-teman yang lain melakukan perubahan dan kita bisa,"