Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Budiman Sudjatmiko, Anak Muda yang Berjuang dalam Sistem
24 Feb 2014
"Dulu banyak orang yang ragu kalau kita bisa menjatuhkan Orde Baru. Jauh lebih banyak yang ragu pada waktu itu. Toh saya dengan teman-teman yang lain melakukan perubahan dan kita bisa,"

JAKARTA - Sosok Budiman Sudjatmiko tentu sudah tidak asing lagi di mata para pemuda yang merindukan perubahan, atau bahkan aktivis mahasiswa, dan rakyat Indonesia pada umumnya.
 
Pria kelahiran 10 Maret 1970 di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, itu kini menjabat sebagai salah satu anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan periode 2009-2014.
 
Sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), anak pertama dari empat bersaudara ini telah aktif dalam berbagai kegiatan diskusi dan organisasi. Pada awal masa perkuliahan di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Budiman juga sempat terlibat dalam berbagai gerakan mahasiswa.
 
Kemudian selama kurang lebih empat tahun, dia memutuskan untuk fokus ke dalam community organizer yang melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.
 
Darah politik ternyata mengalir dalam diri Budiman. Kakek Budiman pada masa Orde Baru menjabat sebagai Kepala Desa, juga pegiat partai penguasa pada waktu itu, yakni Partai Golkar. Meskipun hidup pada zaman penuh tekanan, namun hal itu tidak membuat Budiman patah semangat dalam menggali segala ilmu terutama dari para founding fathers yang pada saat itu diharamkan oleh Presiden Soeharto untuk dipelajari.
 
"Keluarga saya nasionalis meskipun kakek saya Kepala Desa. Dan jaman Orde Baru Golkar ya. Zaman Orde Baru pasti Golkar lah. Tapi di dalam keluarga ya pikiran-pikiran Bung Karno," kenang Budiman.
 
Pada tahun 1996 Budiman mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kemudian menyebabkannya dia dipenjara oleh pemerintah Orde Baru selama 13 tahun. Namun, karena kemenangan gerakan demokrasi (Reformasi 1998), Budiman hanya menjalani hukuman selama 3,5 tahun setelah diberi amnesti oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 10 Desember 1999.
 
Sangat tidak heran jika Budiman mendapat hukuman penjara pada masa itu. Pasalnya, di tengah-tengah pemerintahan yang otoriter, pengagum Proklamator Indonesia, Soekarno ini tidak jarang melakukan segala aksi atau upaya untuk memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas, terutama nasib para petani. Mengingat pada era 1980-an sampai 1990-an banyak sekali kasus agraria seperti sengketa lahan yang melibatkan masyarakat sipil dengan militer terjadi di Indonesia.
 
Budiman meyakini perubahan nasib rakyat hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan perubahan pada sistem pemerintahan. Namun, karena pemerintahan yang otoriter, maka Budiman memutuskan untuk melakukan upaya perubahan dari luar sistem.
 
"Sejak awal saya percaya bahwa jalur harus politik, harus demokratis. Tatkala saya terlibat dalam gerakan mahasiswa, terlibat dalam organisator komunitas petani di Cilacap, dan Ngawi saya memang merasa persoalan yang sejak 1990-an itu hanya tuntas kalau ada UU yang berpihak pada masyarakat. Kita mendirikan PRD karena kita percaya perubahan harus lewat politik. Hanya karena Orde Baru tidak mau mengubah dari dalam, ya kita harus ubah dari luar," ungkapnya.
 
Tidak mudah menjadi seorang aktivis pergerakan di dalam lingkaran pemerintahan yang otoriter. Bahkan tidak sedikit pihak-pihak yang merasa ragu dengan orang-orang yang meneriakan kebebasan pada masa pemerintahan Soeharto. Hal itu pula lah yang dialami oleh Budiman. Banyak pihak yang menganggap jika apa yang telah dia lakukan selama masa Orde Baru hanya akan sia-sia saja. Meskipun pada akhirnya rezim yang berkuasa selama 32 tahunj itu juga berhasil runtuh pada momen reformasi 1998.
 
"Dulu banyak orang yang ragu kalau kita bisa menjatuhkan Orde Baru. Jauh lebih banyak yang ragu pada waktu itu. Toh saya dengan teman-teman yang lain melakukan perubahan dan kita bisa," ujarnya.
 
Selepas dari penjara, Budiman kemudian melanjutkan studinya dengan mengambil fokus Ilmu Politik di Universitas London dan Master Hubungan Internasional di Universitas Cambridge, Inggris. Setelah kembali ke Tanah Air, pada akhir 2004, Budiman bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, dan membentuk Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), sebuah organisasi sayap partai.
 
Keputusan Budiman bergabung ke PDI Perjuangan sontak mendapat respons beragam dari berbagai pihak, terutama dari kolega-koleganya di PRD. Tidak sedikit yang mempertanyakan idealisme Budiman ketika telah masuk ke dalam partai politik. Namun, jika dipelajari lebih lanjut, secara tidak langsung memang Budiman memiliki kedekatan emosional dengan partai berlambang kepala Banteng itu. Pasalnya pada peristiwa Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) yang terjadi pada tahun 1996, Budiman ditetapkan sebagai salah satu tersangka.
 
"Kritik itu ada. Menyesalkan, mengecam, mengapa lewat PDI Perjuangan, dan segala macam. Saya keluar dari PRD kan 2001 setelah itu saya gak berpartai, sampai 2004. Waktu itu saya belum menentukan mau masuk partai apa. Tapi pada 2004 saya memutuskan masuk PDI Perjuangan," terangnya.
 
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terletak di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat, yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI. Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat, Jakarta Pusat. Pemerintah saat itu menuduh jika aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD, termasuk Budiman ke penjara.
 
Namun, menurut Budiman, keterlibatan dirinya dalam aksi tersebut bukanlah faktor utama dari keputusannya untuk masuk ke PDI Perjuangan. Diakui Budiman, semenjak dahulu orangtuanya memang simpatisan partai nasionalis tersebut. "Itu (Peristiwa Kudatuli) salah satu momentum. Tapi dari dulu keluarga saya juga memang PNI, nasionalis. Kemudian keluarga saya juga ikut-ikut PDI," imbuhnya.
 
Setelah bergabung dengan PDI Perjuangan dan mulai terjun langsung dalam politik dengan menjadi anggota DPR, tidak membuat Budiman lupa akan cita-cita yang dia perjuangkan pada era Orde Baru. Menurut dia, paska reformasi 1998 yang melahirkan demokrasi serta pemilihan presiden secara langsung, juga harus diisi oleh elemen-elemen masyarakat yang mengiginkan perubahan.
 
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah VIII yang meliputi Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap ini berpandangan setelah berhasil meruntuhkan rezim otoriter, maka perjuangan harus dilannjutkan melalui jalur dari dalam sistem.
 
"Karena itu yang harus saya lakukan adalah melanjutkan pada apa yang saya lakukan di luar pada masa Orde Baru. Bagi yang sudah terlibat dalam gerakan perubahan konsekuensinya adalah turut mengisi sistem itu," tegasnya.
 
Diakui Budiman, sejak awal dirinya memang ingin masuk ke Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria, sebagaimana yang telah dia tekuni selama menjadi aktivis pergerakan.
 
Saat ini, ada beberapa Undang-Undang (UU) yang sedang dia bahas bersama dengan anggota DPR lainya. Namun dalam perjalanan karier politiknya sebagai anggota Komisi II, Budiman lebih dipandang memiliki untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa. Budiman sendiri mengaku memang sangat ingin merealisasikan RUU Desa tersebut. Lantaran merasa prihatin dengan birokrasi desa yang ada di Indonesia, maka salah satu janji politik Budiman pada saat kampanye adalah mengupayakan terwujudnya RUU Desa sebagai suatu landasan untuk membangun desa menjadi lebih baik.
 
"Ini janji saya. Janji saya adalah akan membuat rumah aspirasi di Dapil, ingin menyelesaikan kasus-kasus pertanahan minimal di Dapil saya, dan sudah ada yang selesai di Cilacap. Ketiga adalah ingin meng-goal-kan UU Desa. Itu tiga janji saya saat kampanye," ungkapnya.
 
Sejumlah kritik kembali menimpa Budiman saat dirinya terlibat sebagai salah satu deklarator dari Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Nasional Demokrat (NasDem). Namun Budiman mengaku hanya terlibat sebagai deklarator saja, dan sama sekali tidak termasuk dalam pengurus harian.
 
Budiman berpendapat, selama ormas tersebut memiliki visi nasionalisme, kerakyatan, patriotisme, demokrasi, dan kebhineka tunggalikaan, maka hal itu harus didorong. "Kritik ada. Tapi ini kan hanya deklarasi ormas. Dan saya tidak terlibat ketika menjadi partai. Sebagai deklarator saya sepakat bahwa karena visi misinya itu tidak jauh berbeda dengan keyakinan politik saya," timpalnya.
 
Entah apa yang membuat Budiman terlibat di dalamnya, namun seperti diketahui Budiman memang sering terlibat dalam beberapa ormas. Selain NasDem, pada level internasional, dia juga aktif sebagai pengurus Steering Committee dari Social-Democracy Network in Asia (Jaringan Sosial-Demokrasi Asia).
 
Dia juga menjabat sebagai Pembina Utama di Dewan Pimpinan Nasional organisasi Parade Nusantara, yaitu organisasi yang menghimpun para kepala desa dan seluruh perangkat desa di seluruh Indonesia, serta menjadi Ketua Umum Gema (Gerakan Masyarakat) Gotong Royong, sebuah ormas fokus dalam hal sosial ekonomi serta pendidikan.
 
Gema Gotong Royong didirikan karena adanya permintaan untuk membuat rumah aspirasi Budiman di beberapa daerah di Indonesia. "Bedanya kalau rumah aspirasi Budiman melekat dengan Dapil dan partai, kalau Gema Gotong Royong lepas, tidak ada kaitan dengan parpol," cetusnya.
 
Seiring dengan berkembangnya sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan untuk menyatakan pendapat, Budiman sedikit risau. Sebab, kebebasan yang seharusnya mampu membuka peluang bagi peningkatan kesejahteraan rakyat nyatanya tidak juga terealisasi.
 
Kebebasan yang ada di Indonesia saat ini cenderung tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas untuk rakyat. Bahkan tidak jarang dengan embel-embel demokrasi ada pihak-pihak tertentu yang terkesan menganggap remeh seluruh aspek negara ini, tak terkecuali DPR secara kelembagaan yang sering mendapat cemoohan.
 
"Saya tidak pakai istilah kebebasan yang kebablasan. Tapi kebebasan yang tidak dikelola dengan baik oleh pejabat negara juga oleh tokoh masyarakat. Kebebasan harus ada pelembagaan. Sistem kebebasan itu sendiri. Jadi bukan semata-mata kebebasan individu. Kebebasan itu harus diinstitusikan agar tujuan negara itu tercapai," terangnya.
 
Namun, bukan berarti Budiman mengklaim DPR merupakan lembaga bersih. Dia mengakui tidak sedikit oknum-oknum di DPR yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi atau melakukan penyalahgunaan wewenang. Namun, dia juga mengingatkan di antara sekian banyak anggota DPR, masih banyak yang hidup dalam kesederhanaan. Hal ini diungkapkan Budiman menyikapi banyaknya kritik pedas dari publik yang ditujukan ke lembaga legislatif ini.
 
"Ya ada di DPR yang korup. Persoalannya kebanyakan malah mereka yang di ekspose. Masih banyak anggota yang hidupnya biasa saja. Saya juga berusaha untuk tetap hidup seperti sebelum saya menjadi anggota DPR," tuturnya.
 
Kebanyakan, faktor yang menyebabkan banyaknya anggota DPR terlibat dalam kasus korupsi adalah dikarenakan biaya politik yang sangat mahal. Untuk dapat duduk di kursi parlemen saja setiap anggota dewan bisa menghabiskan dana miliaran rupiah. Maka tidak mengherankan bila para wakil rakyat yang serba terhormat itu berusaha untuk mencari pulihan modal selama menjalani masa kampanye. Modus yang digunakan biasanya melakukan lobi-lobi politik lewat proyek-proyek di DPR, atau menyisipkan pasal-pasal pesanan dalam rancangan undang-undang.
 
Budiman sendiri mengaku hanya mengeluarkan biaya yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan anggota DPR lainya. Dia pun tidak memikirkan apakah gaji selama menjadi anggota dewan telah sesuai dengan biaya yang dia keluarkan selama masa kampanye.
 
"Saya relatif murah kalau dibandingkan dengan yang lain. Kurang dari Rp1 miliar, dibandingkan yang lain ada Rp3 miliar, ada yang Rp6 miliar, Rp7 miliar. Dan itu bukan uang saya. Saya gak punya uang sebanyak itu. Saya tidak pernah merasa saya harus ngejar sampai Rp1 miliar untuk mengemblikan uang itu. Karena saya tidak merasa mengeluarkan uang sebanyak itu. Banyak pihak yang membantu secara sukarela dan harapan mereka adalah minta Budiman tetap dengan apa yang diperjuangkan. Bagi saya menjadi seorang politisi adalah merealisasikan ide dan cita-cita," paparnya.
 
Masa jabatan sebagai anggota DPR akan segera berakhir pada 2014 mendatang. Tidak jarang karena merasa nyaman duduk di kursi empuk dan serba mahal di Senayan, para legislator kecanduan ingin meneruskan kariernya sebagai anggota DPR. Namun tampaknya hal itu tidak berlaku bagi Budiman. Meskipun dia telah diminta oleh partai untuk kembali menjalani psikotes sebagai salah satu tahapan guna persiapan Pemilihan Legislatif 2014, namun Budiman tidak besar kepala.
 
Menurutnya, menjadi wakil rakyat bukan dihitung berdasarkan tahun per tahun atau berdasarkan periode. Perjuangan akan terus dia lakukan selama apa yang menjadi harapan rakyat belum terealisasi dan terlaksana dengan baik.
 
"Tentu saja saya tidak memikirkan itu, terus terang. Saya sampai sekarang juga tidak menabung untuk urusan bagaimana saya bisa membiayai pemilu 2014. Politik adalah memaknai setiap waktu yang ada untuk menghasilkan tujuan. Jatah saya 2009-2014, tapi kalau tujuan saya masuk DPR, tiga tadi itu tercapai, mungkin kalau partai mengatakan ya sudah kamu selesai, ya saya rela-rela saja. Yang penting tujuan itu tercapai. Politik adalah upaya untuk mencapai target," tegas Budiman.
(ful)

 

Sumber: Okezone

Print Friendly and PDF

Daerah Pemilihan Jawa Tengah VIII terdiri dari Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap.

Nama awal dan tengah dari kekayaan adalah kecerdasan sosial, jejaring, akar sosial, dan reputasi. Banyak dari kita sudah melupakan itu dengan menjadikan uang sebagai alasan dan faktor utama dalam berpolitik....

Saya kira itu opini pribadi Mas Hendrawan. Sampai sekarang belum ada pembicaraan itu...

Jika masa lalu kita mendengar istilah perangkat desa kering-kering sedap menjadi ngeri-ngeri sedap, dari tidak ada duit (kering) menjadi berduit atau banyak duit, jadinya ngeri-ngeri sedap...