Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Tata Negara Sibernetika: Langkah untuk wujudkan Pembangunan Berkeadilan
30 Nov -0001
Kita pasti sering mendengar istilah “pembangunan berkeadilan”. Kata ini sering digunakan oleh para pengamat di televisi ataupun para kolumnis di surat kabar....

*)  Budiman Sudjatmiko, Anggota Komisi 2 DPR RI.
Akun twitter : @budimandjatmiko

A. Konsepsi

Kita pasti sering mendengar istilah “pembangunan berkeadilan”. Kata ini sering digunakan oleh para pengamat di televisi ataupun para kolumnis di surat kabar. Pada rapat kerja 21 April 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga kerap menggunakan istilah tersebut. Namun sejatinya, apakah hakikat dari “pembangunan berkeadilan”? Dari penjelajahan selama ini, penulis sejauh ini belum menemukan pengertian “pembangunan berkeadilan” yang cukup memuaskan. Penjelasan yang ada umumnya bersifat retoris dan normatif.
Jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pembangunan” dapat diartikan sebagai “proses mendirikan atau membentuk sesuatu”. Kata “berkeadilan” dapat diterjemahkan sebagai “memberikan bobot yang sama, tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang”.
Secara natural, senantiasa akan selalu ada jarak antara pengertian keadilan berdasarkan azas equality dan need. Pada konsep keadilan berdasarkan azas equality, besar uang jajan untuk 2 orang anak dengan usia yang berbeda haruslah sama besarnya. Pada konsep keadilan berdasarkan azas need, besar uang jajan mereka haruslah bersifat “proporsional” [1].
Pada kontradiksi filosofis ini, penulis cenderung memilih jalan yang relatif moderat. Penulis menolak pengertian keadilan sebagai “bobot yang sama” tetapi lebih kepada aspek “kepatutatan/proporsionalitas”. Namun di sisi lain, Negara harus senantiasa berupaya untuk memperkecil jarak antara equality dan need dengan keberpihakan kepada elemen yang lebih lemah.
Dari deduksi di atas, kita dapat mendefinisikan “pembangunan berkeadilan” sebagai berikut:
proses mendirikan atau membentuk dengan dilandasasi kepada nilai-nilai kebenaran, tidak bersifat sewenang-wenang, bersifat proporsional namun tetap memiliki keberpihakan terhadap elemen yang lemah.
Ada 4 prinsip dasar “pembangunan berkeadilan” yang bisa diturunkan dari definisi tersebut:

Keempat konsepsi keadilan di atas bukanlah sesuatu hal yang baru bagi kita semua. Karena seperti itulah makna keadilan yang dimaksud dalam tujuan bernegara, yakni mewujudkan masyarakat adil makmur. Para founding fathers jelas menolak konsepsi keadilan yang semata-mata bersifat prosedural, yang hanya fokus pada penegakan hukum dan aturan-aturan formal untuk menjamin kebebasan individu dalam mengekspresikan diri dan keinginannya [2]. Keadilan yang prosedural cenderung mengabaikan soal kemiskinan, ketidaksetaraan ekonomi, dan pengangguran. Namun demikian penekanan yang berlebihan pada kesetaraan individu juga bukanlah keadilan yang sesungguhnya karena justru akan menghilangkan dinamika yang mendorong kemajuan dalam masyarakat. Keadilan haruslah bersifat distributif, yakni adanya kesetaraan kondisi awal yang dibutuhkan bagi setiap orang Indonesia untuk dapat mengembangkan dirinya serta proposionalitas hasil yang diperoleh dari setiap upaya yang dilakukan.

B. Kondisi Politik dan Ekonomi

Pasca reformasi bangsa ini terus melakukan sejumlah perbaikan sistem politik. Demokratisasi sejatinya adalah upaya untuk mewujudkan pembangunan berkeadilan dalam bidang politik. Reformasi peraturan perundang-undangan adalah upaya untuk mewujudkan nilai yang pertama. Pencabutan UU Subversif, amnesti tahanan politik sejatinya adalah implementasi nilai yang kedua: memastikan tidak ada elemen yang diperlakukan secara sewenang-wenang. Pencabutan peraturan pembatasan jumlah partai politik sejatinya adalah upaya untuk memastikan agar seluruh elemen masyarakat memiliki hak politik yang proporsional. Aspek keempat, keberpihakan terhadap elemen politik yang lebih lemah, sejauh ini masih harus terus kita perjuangkan bersama. Walaupun memiliki banyak kendala dan kelambatan, namun harus diakui bahwa proses demokratisasi atau “pembangunan berkeadilan dalam bidang politik” telah bergerak maju ke depan, relatif terhadap masa orde baru.

Gambar 1
GDP dan koefisien Gini Indonesia.

Yang menjadi kendala sekarang adalah “pembangunan berkeadilan dalam bidang ekonomi”. Paradigma ekonomi saat ini, relatif lebih tidak berkeadilan dibandingkan dengan era Orde Baru. GDP Indonesia naik drastis, namun tingkat kesenjangan (diukur melalui indeks Gini) juga naik dengan drastis. Fenomena ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar “pembangunan berkeadilan”, sebagaimana telah dibahas dibagian sebelumnya. Tantangannya bagi negara berkembang tidak hanya tumbuh dengan cepat, tetapi juga bagaimana mengkonversi pertumbuhan tersebut menjadi “pembangunan berkeadilan” [3].


 
Gambar 2
Model analisis hubungan kesenjangan, demokrasi, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan [4].

Model analisis hubungan kesenjangan, demokrasi, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 2 [4]. Pada gambar ini terlihat bahwa “tingkat kesenjangan” adalah faktor terpenting dalam mewujudkan “kesejahteran”. “Tingkat kesenjangan” memiliki dampak yang sangat kuat terhadap “demokrasi” dan memiliki dampak yang relatif lemah terhadap “pertumbuhan ekonomi”. Sebaliknya, faktor “demokrasi” dan “pertumbuhan ekonomi” hanya memiliki pengaruh yang sangat lemah terhadap 2 faktor lainnya. Dari sini terlihat bahwa peranan “tingkat kesenjangan” terhadap “kesejahteraan” jauh lebih signifikan jika dibandingkan dengan “demokrasi” dan “pertumbuhan ekonomi”.
Pasca reformasi, kita terus melakukan revitalisasi “demokrasi” secara intensif. Reformasi hukum, partai politik, sistem pemerintahan, isu korupsi, dan reformasi birokrasi terus menjadi fokus perhatian. Faktor “pertumbuhan ekonomi” juga terus mendapat perhatian yang sangat besar, bahkan menjadi target reguler pembangunan nasional. Setiap tahun, pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, faktor “tingkat kesenjangan” nyaris luput dari perhatian. Stagnansi penanggulangan kemiskinan sejatinya adalah konsekuensi langsung dari diabaikannya faktor “tingkat kesenjangan” dalam tujuan pembangunan nasional.



Figure 3:
Sketsa evolusi kehidupan bernegara [5].
Di setiap tahapan, selalu ada ancaman terhadap runtuhnya ikatan bernegara

“Tingkat kesenjangan” tidak hanya memiliki peranan yang sangat penting terhadap “kesejahteraan”, tetapi juga memiliki dampak yang sangat signigikan terhadap kesinambungan “demokrasi” kita ke depan. Naiknya “tingkat kesenjangan”, yang terjadi pasca reformasi, merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa Indonesia ke depan. Heterogeitas sebagai kondisi alami bangsa Indonesia layaknya sebuah pisau bermata dua, merupakan kekayaan sekaligus ancaman bagi rusaknya ikatan berbangsa. Hal ini perlu kita sadari bahwa ikatan untuk hidup bersama dalam sebuah negara tidak bisa shanya disandarkan pada semangat patriotisme yang diwariskan dari semangat perlawanan terhadap penjajahan. Dengan sendirinya, salah satu legitimasi dari keberadaan negara adalah  terpenuhinya ekspektasi rakyat untuk hidup lebih baik di alam melalui alokasi sumber daya yang adil dan ketersediaan berbagai layanan publik.


Gambar 4:
Visualisasi  dilema-dilema yang kita hadapi dalam kehidupan bernegara

Gambar 4 menunjukan alur kehidupan bernegara dan sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan   untuk wujudkan keadilan dalam pembangunan Indonesia. Di satu sisi kita ditantang untuk temukan formula kebijakan yang tidak hanya mendorong munculnya iklim demokrasi dalam kehidupan politik tetapi juga mampu wujudkan keadilan sosial dalam masyarakat. Sementara di sisi lain, keragaman bio-etno-sosio-kultural bangsa Indonesia menjadi tantangan  tersendiri yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap upaya implementasi kebijakan. Misalnya, kebijakan otonomi daerah bisa dianggap sebagai upaya untuk hadirkan keadilan politik bagi rakyat Indonesia. Namun jika tidak hati-hati, implementasi kebijakan ini bisa timbulkan dampak yang merusak integrasi kehidupan bernegara.
Kita tentu tidak hendak mengatakan bahwa jawaban dari persoalan kita terletak pilihan-pilihan ekstrim dari dilema-dilema tersebut.  Ini karena kita tidak lagi hidup di dalam dunia dimana kutub-kutub ideologi memainkan peranan penting tentukan arah kebijakan sebuah negara. Saat ini, kunci utamanya terletak pada manajemen pemerintahan dan kebijakan publik yang tepat.

C. Manajemen Negara dan Kepemimpinan yang Visioner

“Indonesia membutuhkan pemimpin yang tangguh. Tantangan masa depan lebih berat dan kompleks. Hanya pemimpin yang tangguh yang mampu mengatasi persoalan-persoalan bangsa ke depan”. Demikian kata Presiden Yudhoyono yang dimuat oleh sebuah Koran Nasional . Kita semua tentu berharap memilih dan memiliki pemimpin yang hebat. Namun pada level tertentu kita harus berani berpikir bahwa, dengan atau tanpa hadirnya pemimpin yang tangguh, system ketatanegaraan dan pemerintahan harus tetap bisa memberikan pelayanan pada masyarakat. Kita membutuhkan tatanan pemerintahan yang secara fleksibel mampu mengorganisasikan dirinya sendiri ketika menerima gangguan sehingga rutinitas aktivitasnya secara keseluruhan tetap berjalan.
Membayangkan system kenegaraan seperti ini sama seperti membayangkan bagaimana system yang “hidup” berkerja. Tubuh kita, misalkan, secara otomatis mengeluarkan keringat saat suhu ruangan berada di atas temperature normal. Interdependensi antar elemen yang bersinergi secara unik hasilkan system yang mampu mereproduksi dirinya sendiri, beradaptasi dan bertahan terhadap gangguan dan perubahan lingkungan (gambar 1a). Dalam system seperti ini, negara tetap bisa berjalan walaupun misalnya presiden tiba-tiba mangkat atau tidak berada di tempat. Sistem birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan cepat karena memiliki daftar alternatif tindakan untuk merespon perubahan di lapangan. Sampai pada level tertentu kita tidak membutuhkan seorang pemimpin yang hebat, tapi tatanan pemerintahan yang mampu adaptif terhadap tantangan perubahan.



Gambar 5:
Visualisasi sistem yang mampu adaptif terhadap perubahan


Era globalisasi dan percaturan geopolitik sejatinya adalah era persaingan terbuka dan ekstrem di antara kepentingan-kepentingan nasional tersebut. Untuk itu, Indonesia membutuhkan sebuah sistem tata kelola pemerintahan yang mampu menyelesaikan permasalahan dengan cepat, akurat, komprehensif dan terkoordinasi. Namun sayangnya, paradigma birokrasi hierarkis tradisional yang ada sekarang kewalahan menjawab tantangan tersebut.
Sebagai contoh, informasi penyebaran penyakit menular mengalami keterlambatan dan noise sebelum tiba ke pusat kendali birokrasi. Luas wilayah dan keragaman wilayah Indonesia dipandang sebagai permasalahan. Rangkaian rapat yang bertele-tele dan diwarnai judgment subjektif yang begitu kental, menghasilkan solusi kebijakan yang tidak akurat dan bersifat parsial. Penerapan kebijakan diberlakukan dengan tidak terkoordinasi dan berserak.
Tata kelola sebuah organisasi seharusnya mencerminkan kompleksitas sistem dimana ia bekerja. Pola organisasi dengan satu level hirarki kontrol mungkin cukup untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dengan pola hidup hunter gatherer (gambar 6). Hal ini berbeda dalam situasi masyarakat era revolusi industri. Pada masa ini, kebutuhan untuk menghasilkan barang produksi dalam jumlah yang besar dengan kualitas yang sama membuat struktur organisasinya menjadi lebih kompleks dimana hirarki kontrol tersusun dalam sejumlah level.
Saat ini, laju perubahan dan arus informasi yang semakin cepat. Diversifikasi produk yang tinggi membutuhkan kerja-kerja kolaboratif dari individu-individu dalam organisasi. Dalam situasi ini, manajemen  organisasi tidak lagi sepenuhnya berbentuk hirarki, atau bahkan lebih berupa jejaring antar elemen dengan hirarki kontrol yang terdistribusi pada setiap elemen.


Gambar 6:
Visualisasi evolusi struktur organisasi sebagai respon dari meningkatnya kompeksitas lingkungannya [6]

Permasalahan tata kelola pemerintahan tradisional dapat diselesaikan melalui perspektif sibernetika [7,8]. Sibernetika merupakan studi interdisiplin yang mengkaji permasalahan struktur dan manajemen sistem informasi dengan dilandasi perspektif teori kendali, perspektif sistemik dan ilmu biologi. Proyek ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, dan sudah lama diterapkan dalam mengelola perang maupun manajemen perusahaan. Hanya saja untuk tingkat negara, manajemen sibernetika baru pernah coba dirintis sebelumnya di Rusia [9] dan Chile [10]. Perspektif inilah yang  pernah saya tulis untuk membenahi manajemen birokrasi dan ekonomi negara serta kepartaian di Indonesia beberapa waktu lampau [11,12].
Dengan sibernetika maka permasalahan daerah, seperti busung lapar, persebaran penyakit, potensi krisis ekonomi, bencana alam, kriminalitas, penyusupan oleh nelayan asing atau konflik sosial, dimungkinkan untuk dideteksi dengan cepat melalui sistem “radar” canggih dan kemudian dikalkulasi secara real time dengan menggunakan perangkat komputasi. Proses ini akan menghasilkan rekomendasi yang didistribusikan secara terkoordinasi dan akan sangat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan.
Selain itu, sibernetika ini memungkinkan setiap orang pada seluruh level pengambilan kebijakan (mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kampung ataupun unit paling rendah di tempat kerja) memiliki informasi yang simetris/seimbang. Hal ini dimungkinkan karena manajemen birokrasi yang sibernetis itu mengandalkan diri pada informasi yang sekarang ini pasokannya melimpah dengan perangkat penyerapannya yang mudah diakses.
Saya percaya, setelah melakukan sejumlah pengamatan, versi mutakhir dari konsep sibernetika ini secara rahasia telah terpasang dalam sistem pengambilan keputusan di Amerika Serikat, setidaknya pada sektor pertahanan, ekonomi dan energi [13].


 
Gambar 7
Alur informasi tata birokrasi tradisional (kiri) dan tata birokrasi sibernetika (kanan).


Desain tata negara sibernetika adalah faktor kunci untuk dapat menjalankan fungsi pemeritahan secara cepat, akurat, obyektif, komprehensif dan terkoordinasi. Ia mutlak dimiliki oleh Indonesia untuk dapat memenangkan persaingan di kancah global dan menyejahterakan rakyatnya.
Beberapa pekerjaan awal telah kami rintis untuk mewujudkan visi tersebut. Pada sistem ini, unit administrasi pemerintahan terkecil di desa atau kelurahan dapat berkomunikasi satu sama lain secara cepat namun tidak bersifat kontraproduktif bagi skema tata birokrasi secara nasional.
Saat ini kita hidup di dunia yang terus bergerak dan berubah dengan cepat. Tv, internet, media social membuat segala sesuatunya kian dekat, memudahkan kolaborasi antar elemen dan mendorong munculnya banyak hal baru. Akibatnya, kita semakin sulit memperkirakan apa yang mungkin terjadi. Di satu sisi, konektivitas yang tinggi dengan informasi yang membludak membuat derajat ketidakpastian menjadi makin tinggi.  Sementara di sisi lain, sistem semakin sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil karena dengan cepat dapat terpropagasi melingkupi keseluruhan system.
Desain tata negara sibernetik hanya merupakan sebagian dari jawaban yang kita butuhkan. Ini karena kita tidak mungkin membangun sistem yang mampu merespon semua kemungkinan persoalan yang akan muncul. Kita tidak bisa bergantung semata-mata pada fleksibilitas dari system, tapi lebih jauh harus melakukan proses inovasi secara terus menerus  agar bisa bertahan dari gempuran persoalan yang kian kompleks. Dalam konteks ini, tata kelola pemerintahan di era moderen sangat membutuhkan kepemimpinan yang visoner.



Gambar 8
Visualisasi Interaksi sains sebagai support system dalam pengelolaan negara


Kepemimpinan yang visioner adalah kepemimpinan yang mampu memahami arah gerak zaman dengan tetap berdiri di atas wawasan kedirian yang kokoh. Wawasan kedirian terkait pemahaman akan jati diri dan cita-cita kebangsaan dibutuhkan agar perubahan senantiasa bergerak dalam jalur yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan berdirinya sebuah Negara.  Kepemimpinan yang visioner harus selalu ditopang oleh perkembangan sains terbaru agar persoalan dapat direspon dengan solusi-solusi yang cerdas . Dengan sains, visi seorang pemimpin menjadi sesuatu yang mungkin untuk diwujudkan. Dengan sains pula, kompleksitas masyarakat akan dapat dijinakan. 

E. Pengakuan
Terima kasih kepada rekan-rekan di Bandung Fe Institute atas diskusi dan masukannya dalam pembuatan makalah ini.
F. Pustaka

 

 

Untuk acara “Demokratisasi dan Pembangunan Politik dalam Mewujudkan Pembangunan Berkeadilan”, 4 Juli 2011, di Lembaga Administrasi Negara.

“Indonesia Butuh Pemimpin Tangguh”, Kompas, 7 Mei 2010.

 

Tata Negara Sibernetika_ Langkah untuk wujudkan Pembangunan Berkeadilan.pdf

Print Friendly and PDF

Bagaimana Pengawasan Anggaran Desa Saat UU Desa Dilakukan?

Label-label ideologi, kapitalisme, komunisme, sekular, nasionalis, menjadi kosa-kata yang umum dalam obrolan politik. Para pengamat menggunakan istilah tersebut untuk ....

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.

UU Desa dan Desa Melek Informasi dan Teknologi (DEMIT) adalah dua perangkat penting, untuk menuju nol kemiskinan di Indonesia.