Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:
Tanggapan untuk I Wibowo dan Franz Magnis Suseno
Tulisan I Wibowo (Kompas, 8/10/2003) menimbulkan bantahan dari sahabatnya, Franz Magnis Suseno. Rasanya, artikel Wibowo yang sarat pesan itu cukup kontroversial sehingga layak diperdebatkan. Bukankah kata-kata Latin, yang pastinya akrab bagi kedua rohaniwan intelektual ini, amantium irae amoris integratio est (pertengkaran antarkekasih akan memperbarui cinta) berlaku? Dan perdebatan antara dua intelektual itu, kiranya akan memperbarui cara pandang kita.
Menurut saya ada kekeliruan Wibowo dalam melihat proses transisi demokrasi. Kekeliruan itu adalah simplifikasi atas latar belakang, ritme maupun prospek demokratisasi itu sendiri. Satu contoh bisa disebut, keberadaan partai-partai agama (atau berdasar suku) bisa memunculkan fanatisme yang menolak aturan main demokrasi, jika partai itu kalah dalam pemilu.
Menurut saya, Wibowo gagal membedakan antara partai-partai agama (bahkan yang fundamentalis sekalipun) dengan kecenderungan gerakan-gerakan fasis agama (clerico-fascist).
Mungkin yang dimaksud Wibowo adalah kategori ini, yaitu kategori gerakan ekstra-parlementer berlabel dan berjargon agama, yang mengatasnamakan Tuhan, yang kemudian bersikap paranoid terhadap demokrasi dan pluralisme. Sebagaimana kita pahami, sikap itu bertitik tolak dari syakwasangka mereka bahwa demokrasi dan pluralisme, memberi kesempatan pada "kebenaran yang lain"-di luar kebenaran ’Tuhan’ menurut penafsiran mereka-untuk hidup.
Daripada khawatir, demokrasi bisa memunculkan kecenderungan "tidak terima kalah" di kalangan partai-partai agama (bahkan partai agama fundamentalis sekalipun), saya malah lebih khawatir bahwa justru situasi tidak demokratislah yang paling memungkinkan berdominasinya konfigurasi kekuatan clerico-fascist dan kaum fasis militer. Menurut saya, mereka adalah ancaman demokratisasi yang paling potensial.
Saya merasa perlu membedakan antara partai atau gerakan agama fundamentalis dengan gerakan clerico-fascist. Jika yang pertama, selalu membawakan nilai agama dalam politik yang emansipatoris (contoh: gerakan Islam Syiah dalam revolusi Islam di Iran), sementara kategori clerico-fascist cenderung menggunakan penafsiran agama yang anti-transformasi dan cenderung mudah bergandengan tangan dengan (dimanfaatkan oleh) kaum fasis militer.
Fenomena ini, di antaranya pernah ditunjukkan kaum clerico-fascist di Spanyol yang bergandeng tangan dengan kaum militer dalam rangka menggagalkan sistem republik dan demokrasi pada dekade 1930-an.
DALAM konteks Indonesia, perlu ditekankan, ketika saya bicara tentang fasis militer, sama sekali tidak menunjuk jajaran perwira atau prajurit TNI yang menjunjung tinggi profesionalisme kemiliteran. Tetapi yang saya lihat sebagai hambatan/ancaman bagi demokrasi adalah adanya kecenderungan sikap perlindungan berlebihan dari sebagian perwira TNI terhadap anak buah atau mantan pimpinannya atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan di masa lalu. Hal inilah yang saya lihat sebagai hambatan bagi proses demokratisasi.
Bahwa sampai hari ini demokrasi belum kunjung memberi kepastian bagi perbaikan, saya kira itu butuh waktu, karena demokrasi juga akan terancam oleh berkuasanya politisi sipil yang ignorant-bebal dan asyik dengan diri sendiri-serta korup. Namun, itu bukan merupakan dalih bagi sikap anti (atau paling moderat: frustrasi) terhadap lembaga kepartaian maupun mekanisme demokratis, di antaranya: pemilu.
Saya sepakat dengan Franz Magnis, kita harus mendekonstruksi anggapan "dengan berfungsinya mekanisme demokratis semua masalah yang dihadapi bangsa pasti akan beres" (Kompas, 20/10/2003). Keunggulan demokrasi adalah bahwa kita bisa memilih jalan hidup sendiri. Memang, lagi-lagi-tidak dengan maksud membuat Wibowo kian skeptis-pilihan yang diambil melalui demokrasi juga tidak selalu ideal.
Sebagai misal, di Jerman pada 1930-an, demokrasi memunculkan orang seperti Hitler-yang intelektualismenya sanggup membangun argumentasi setebal Mein Kampf untuk sikap rasis/fasisnya yang akut-atau melahirkan seorang Megawati, yang satu artikelnya pun belum pernah saya baca. Namun, perlu diingat, demokrasi juga bisa memilih seorang Mandela-tak terbayangkan terjadi di bawah sistem apartheid-atau seorang Lula Da Silva, sehingga seorang rekan Brasil saya mengatakan, selain Ronaldo, adalah Lula yang membuatnya bangga sebagai seorang Brasil, karena dia membawa harapan bagi orang miskin di sana setelah 20 tahun berdemokrasi, tanpa interupsi!
KIRANYA perlu ditekankan kata "tanpa interupsi". Dalam sejumlah kasus transisi demokrasi yang monumental, konsolidasi dan stabilisasi demokrasi akan tercapai dalam rentang waktu lebih pendek dari rentang waktu era kediktatoran. Sebagai misal, hanya butuh waktu sekitar dua tahun bagi Portugal untuk mencapai stabilisasi demokrasi (tentunya termasuk, pencapaian demokrasi, seperti penegakan HAM, pemberantasan korupsi, dan sebagainya), setelah melewati delapan kali jatuh bangun pemerintahan sementara, setelah periode lebih setengah abad kediktatoran fasis Salazar dan Caetano.
Contoh lain, waktu yang dibutuhkan transisi demokrasi di Spanyol sejak 1975 adalah sekitar dua tahun setelah era kediktatoran fasis Franco sejak 1939. Di Filipina, proses konsolidasi politik relatif mengalami kestabilan sekitar lima tahun setelah Marcos-yang telah berkuasa selama 20 tahun-ditumbangkan. Baik di Spanyol, Portugal maupun Filipina, bahkan selama periode awal yang labil pascakediktatoran, kekuatan otoriter lama tidak diberi kesempatan untuk berkuasa. Jika kekuatan otoriter lama diberi kesempatan, inilah yang saya maksud dengan "interupsi".
Ada contoh lain bagaimana transisi demokrasi terinterupsi adalah Birma atau Myanmar sekarang. Transisi demokrasi yang memakan korban ribuan jiwa dan berhasil memunculkan Aung San Suu Kyi sebagai presiden, dinterupsi junta militer (elemen kekuatan lama), hingga kini. Karena itu, ketimbang melihat demokrasi sebagai sesuatu yang tidak menolong, tidakkah sebaiknya skeptisisme Wibowo diurai lebih spesifik, misalnya melihat transisi demokrasi tak akan ada artinya jika transisi yang masih labil ini memberi kesempatan kekuatan otoriter lama berkuasa kembali?
Kesempatan kekuatan otoriter lama untuk berkuasa kembali, salah satunya disebabkan proses demokratisasi terus memberi kesempatan untuk diinterupsi. Dan ini bukan sekadar karena daya tahan mereka namun sering karena sikap pragmatisme kita. Tepatnya, otoriterisme lama bisa berkuasa karena di satu sisi, tertolong pragmatisme sebagian kalangan menengah, utamanya di perkotaan, yang mengontrol modal atau opini.
Pragmatisme sebagian dari merekalah yang menimbulkan rasa khawatir bahwa "instabilitas" yang disebabkan demokratisasi, misalnya, menyebabkan proses integrasi mereka dengan perekonomian global terhambat. Namun di sisi lain, konsentrasi kita dalam proses transisi ini juga bisa terpecah karena pernyataan impulsif dari orang-orang idealis yang tidak sabar, meskipun sering dengan maksud baik.
Setelah sekian lama "menahan napas" di era kediktatoran Orde Baru, bangsa kita tersengal-sengal karena diafragma sosialnya mengembang-mengempis secara drastis, sebagaimana kalau kita menahan napas selama satu atau dua menit. Dan itu memang gaduh. Namun itu bukan satu alasan bagi kita, yang karena terusik suara napas tersengal-sengal dari hidung dan mulut, lalu memilih menahan napas lagi, agar tercipta "ketenangan" dan "stabilitas". Saya curiga, setelahnya kita akan "tenang" dan "stabil" untuk seterusnya.
Budiman Sudjatmiko Mahasiswa program MPhil in Internasional Relations, Clare Hall, University of Cambridge; anggota Presidium KP-Pergerakan Indonesia
Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS – Kamis, 30 Oktober 2003
Diskusi RUU Pertanahan bersama anggota Panja DPRRI RUU Pertanahan Budiman Sudjatmiko di Kantor Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Gabriel Garcia Marquez, sastrawan revolusioner Kolombia pemenang Nobel Sastra, secara realis-magis melukiskan sejarah Amerika Latin yang kelam melalui kisah keluarga Jose Arcadio Buendia....
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
"Sayangnya bahwa pemerintahan desa belum memiliki legalitas atas kepemilikan aset-aset desa hasil pendampingan PNPM, bahkan lebih parah lagi terhadap keseluruhan aset desa, pemerintah desa tidak memiliki bukti legalitas kepemilikannya berupa sertifikat atas aset desa dalam hal ini sertifikat tanah aset desa,"
© 2023 Budiman Sudjatmiko • kontak / privacy policy / terms |