Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Disiplin Pasar Neoliberal
30 Nov -0001
Menurut saya, kehancuran ikatan solidaritas horizontal merupakan salah satu akar kehancuran civil society. Saya tengarai ada sejumlah faktor ekonomi-politik yang menyebabkan...

DALAM tulisannya, Akar-akar Hancurnya Civil Society (Kompas, 19/11/2002), Indra J Piliang merisaukan kehancuran masyarakat madani di Indonesia. Dia menyebutkan, proses kehancurannya justru makin tampak setelah terjadinya transisi demokrasi.

Dalam proses pemberdayaan rakyat, pegiat LSM bingung karena kehilangan common enemy, yaitu negara. Sementara partai-partai politik kini justru tidak cukup memberi warna bagi proses itu.

Indra risau, saat partai-partai politik kini bertumbuh bagai jamur di musim hujan, gerakan-gerakan sosial justru kebingungan bagaimana menjadi pohon yang berakar di tengah jamur-jamur itu. Sementara tugas pemberdayaan rakyat belum lagi berbunga, apalagi berbuah.

Menurut saya, kehancuran ikatan solidaritas horizontal merupakan salah satu akar kehancuran civil society. Saya tengarai ada sejumlah faktor ekonomi-politik yang menyebabkan hancurnya solidaritas horizontal itu, yaitu berdominasinya gelombang neoliberalisme yang melanda negeri-negeri berkembang sejak 1980-an, berdampak pada pembangunan ekonomi dan perpolitikan di negeri-negeri itu.

Menurut Kenneth M Roberts dari University of New Mexico, kesenjangan sosial sebagai dampak ekspansi neoliberalisme di Amerika Latin ternyata tidak selalu memunculkan solidaritas horizontal di kalangan rakyat, terutama solidaritas berbasis kelas. Fenomena ini menarik karena wilayah itu dikenal sebagai wilayah di mana solidaritas horizontal berbasis lintas-kelas (misalnya populisme Peronis) ataupun berbasis kelas (sosialisme Marxis) memiliki sejarah panjang.

Ketika neoliberalisasi kian melebarkan kesenjangan sosial, ternyata ikatan kelas kian memudar. Persoalannya, apakah itu perkara khas di Amerika Latin atau fenomena umum di negeri-negeri dunia ketiga lainnya?

Kiranya berguna mengupasnya jika kita memfokuskan pada pertanyaan: apakah ada kecenderungan serupa atau, bahkan, lebih kuat di Indonesia? Sebagaimana diketahui, politik berbasis kelas di Indonesia tidak berdominasi ketimbang, misalnya, politik aliran.

Selanjutnya, K Roberts mengatakan, artikulasi politik di Amerika Latin pada periode awal transisi tidak mendasarkan dirinya kepada solidaritas horizontal, tetapi penguatan ikatan vertikal di mana ikatan dengan kaum senasibnya malah memudar. Artinya, setelah direpresi cukup lama semasa era otoriterisme, dan setelah mengalami tindakan "pendisiplinan" oleh regulasi pasar model neoliberalisme oleh rezim-rezim itu, rupanya preferensi-preferensi politik masyarakat bawah mengalami proses "individualisasi" sekaligus dis-artikulasi kelas.

Namun, "disiplin pasar ala neoliberal" juga tidak menjadikan pilihan-pilihan politik mereka "rasional", seperti asumsi sejumlah kalangan, liberalisasi ekonomi akan menyebabkan rasionalisasi dalam preferensi-preferensi politik dan budaya masyarakat.

Ada asumsi, dalam proses itu, masyarakat akan mulai meninggalkan ikatan-ikatan lain, kecuali ikatan pada harapan menyejahterakan hidup mereka dalam segala aspeknya, menurut hukum besi penawaran dan permintaan yang "rasional". Bagaimana kita mencermati perkara ini?

Kita perlu mencatat, era transisi di banyak negara berkembang merupakan reaksi atas berkuasanya era otoriterisme. Kecenderungan politik penguasa otoriter di masa lalu adalah penyingkiran sektor-sektor rakyat dari kancah politik dan peredaman aspirasi-aspirasi ekonomi mereka yang (umumnya) berbasis atau, setidaknya, berjargon kepentingan kelas.

Namun, pada saat bersamaan, kekuasaan otoriter justru melakukan kooptasi politik terhadap kelas menengah. Kelas menengah ini lalu dijadikan junior partners dalam sistem politik otoriter dan ekonomi pasar (baik yang ortodoks maupun agak longgar). Ketika akhirnya demokratisasi terjadi, yang menjadi penyangganya justru lapisan menengah yang semasa rezim lama menjadi junior partners.

Dalam banyak kasus, sebagian lapisan oligarkis "demokratis" pendukung rezim lama disertakan di dalamnya. Sehingga yang didapati semasa era transisi adalah struktur kekuasaan yang beralih dari core group lama rezim otoriter ke core group baru rezim sipil/demokratis. Tak kurang dari itu, berlanjutnya kebijakan ekonomi neoliberal dan adanya sejumlah besar massa rakyat yang sekian lama terdepolitisasi.

Dampak penajaman kebijakan deindustrialisasi yang memfokuskan diri pada liberalisasi perdagangan (rezim otoriter atau rezim sipil demokratis), massa rakyat kian tersegmentasi dalam unit-unit produksi kecil-kecilan. Kian banyak dari mereka menjadi buruh sub- kontrak, pekerja lepas, petani yang kehilangan akses atas tanah, para pengecer kecil, dan berkurangnya konsentrasi-konsentrasi buruh dalam jumlah besar di pabrik-pabrik besar plus jutaan massa pengangguran. Kian berkurang ikatan perekat berskala besar dalam proses produksi.

JIKA di Amerika Latin neoliberalisme ditumbuhkan sejak awal oleh rezim militer untuk "mendisiplinkan" masyarakatnya agar patuh kepada regulasi pasar dan tidak berideologi lain kecuali ideologi ekonomi neoliberal dan tidak berpolitik kecuali tunduk pada otoriterisme militer, maka neoliberalisme di Indonesia amat terasa justru semasa menjelang keruntuhan rezim otoriter Orde Baru. Terutama setelah paket Structural Adjustment Programme disepakati Presiden Soeharto (saat itu) karena krisis ekonomi 1997.

Meski demikian, saat terjadi perpindahan dari pola "depolitisasi tanpa disiplin pasar" pada awal Orde Baru ke pola "depolitisasi dengan disiplin pasar" tahun 1987 (melalui paket deregulasi), lalu beranjak ke pola "politisasi dengan disiplin pasar" sejak 1999 (pemilu bebas pertama setelah 1955), ada yang tidak berubah di dalamnya, yaitu pola hubungan elite-massa yang bersifat patrimonial.

Sejumlah kalangan mengatakan, modernisasi membuat masyarakat kian urban, terspesialisasi, melek huruf, terdidik, dan semacamnya. Dalam kaitan ini, neoliberalisme ekonomi merupakan fase terbaru. Namun, justru di sinilah perkaranya. Ketika modernisasi hanya mendorong tiap individu menaati "disiplin pasar" (memenuhi mekanisme penawaran dan permintaan aspek kehidupan) tetapi tidak membuat mereka melek (literate) dalam politik, dampaknya adalah paradoks: terjadi proses derasionalisasi politik di tengah proses rasionalisasi ekonomi neoliberal.

Hal itu ditampakkan dalam pilihan-pilihan politik yang relatif terlepas dari posisi sosial/ kelasnya, dan sebaliknya condong pada ikatan politik vertikal dengan patron-patron lama. Patron-patron inilah yang dulu merupakan junior partners kekuasaan otoriter lama dan kini menempati posisi eselon satu (core group) kekuasaan baru.

"PERBAIKAN nasib" menjadi pelaku utama yang independen dari kekuasaan baru, menjadikan posisi sang patron lebih kuat. Dengan transformasi itu, kini mereka berkuasa, baik secara nasional maupun lokal. Namun, pada saat sang patron terlepas dari dependensinya atas kekuasaan otoriter lama, mereka kini justru tergantung (dependent) pada regulasi disiplin pasar.

Hal itu berdampak pada perilaku politiknya sehingga menjadi lebih "terbuka" dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya (yang tak mungkin mereka lakukan saat "magang" pada rezim lama), menjadi lebih "demokratis" (mereka harus dipilih, tak lagi diangkat), dan lebih memiliki kelonggaran ruang untuk mendorong karier politiknya dalam mekanisme pasar politik secara bebas.

Namun, perkembangan itu hanya terjadi di kalangan elite kekuasaan baru. Sementara pola hubungan antara patron dan kliennya, massa pemilih di lapisan bawah, tidak mengalami perubahan. Perbedaannya adalah sang patron memiliki dua posisi rangkap, sebagai insan politik yang "berdaulat" (tak lagi menempel pada kekuasaan otoriter) dan sebagai insan ekonomi paripurna. Sang patron merupakan entrepeneur yang juga siap mempraktikkan disiplin pasar kepada kliennya.

Maka mulailah mereka mendirikan badan-badan usaha yang terintegrasi secara nasional dan, jika mungkin, secara internasional. Lalu, jika dilihat dari kacamata relasi kelas secara umum, mereka "memecah-mecah" lapisan bawah masyarakat (klien mereka) menjadi pekerja-pekerja subkontrak, pekerja lepas tanpa perlindungan hukum, dan pengikut politik saat pemilu di tingkat nasional maupun pemilihan kepala-kepala daerah.

Mereka telah mengubah massa menjadi partikel-partikel atom (atomized particles) yang mengambang hilir-mudik mengisi ruang-ruang publik kita yang kecil, dalam kompartemen-kompartemen yang terasing satu sama lain. Untuk Indra dan para pegiat demokrasi, dimulai dari ruang-ruang kecil yang tersekat inilah, demokrasi dan semuanya mesti kita bangun kembali.

 

* Budiman Sudjatmiko, Mahasiswa Program Master di Department of Political Studies, SOAS (School of Oriental and African Studies) University of London.

Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS - Rabu, 9 Desember 2002

 

Print Friendly and PDF

Syarat untuk jadi pemimpin yang baik adalah anda harus jadi....pemimpi yang baik.

Beberapa hari lalu, saya mendapat ucapan ”selamat” atas rencana pelantikan sebagai anggota DPR dari konstituen, para petani Banyumas dan Cilacap...

Ada sedikit logika yang perlu dipahami. Pencitraan itu penting sejauh dia tidak berbohong. Kalau politisi hanya bermain di socia media, tentu dia tidak akan layak pilih...

Kalau pemilihan presiden, okey lah dipilih secara langsung. Namun untuk pemilihan legislatif dikembalikan ke ranah partai....