Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:
Untuk Gus Dur
"The first responsbility of a leader is to define reality"
(Tanggungjawab utama dari seorang pemimpin adalah mendefinisikan realita)
--Max DePree--
Renungan dan Resolusi
Tulisan ini saya susun selagi masih dinaungi duka, karena seorang pemimpin visioner bangsa Indonesia meninggalkan kita pada akhir tahun 2009 untuk selamanya, Gus Dur. Namun moral dari dekatnya peristiwa kepergian Gus Dur dengan coret-coretan ini adalah banyak ide di dalamnya saya terima dari sosok Gus Dur. Kematian (sebagaimana juga kelahiran) selalu mendorong kita untuk berfilsafat, menanyakan tentang "ada", "meng-ada" dan juga "tiada". Berfilsafat dengan penuh refleksi barangkali akan menjadi cara menangis yang paling sehat di tengah kehilangan abadi ini. Tapi saya tidak akan mengajak anda berteori filsafat dalam kesempatan ini.
Jika sering kita mendapati orang-orang berkata bahwa Bung Karno dan Gus Dur adalah sosok-sosok yang lahir mendahului jamannya, maka saya katakan bahwa pernyataan tersebut hanya menjelaskan sebagian kebenaran saja. Karena untuk menuntaskan kebenaran tersebut, perlu dikatakan juga bahwa Indonesia pada saat-saat sekarang inilah merupakan Indonesia yang sedang membutuhkan sosok-sosok pemimpin seperti Bung Karno atau Gus Dur. Tak ada yang perlu ditambahi atau dikurangi lagi dari pernyataan tersebut.
Kepada Gus Dur lah, tulisan ini didedikasikan.
Tulisan ini saya susun juga bertepatan saat kita memasuki –bukan sekedar Tahun Baru--, melainkan sebuah Dasawarsa Baru. Tak ada momentum yang lebih tepat kecuali sekarang ini untuk mulai menyusun resolusi dan membagi optimisme untuk Indonesia kita satu dasawarsa dari sekarang.
Baik lah kita segera bisa memulainya dari sebuah pertanyaan: jika tanggungjawab utama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realita (sebagaimana kutipan dari Max DePree di atas), maka realita Indonesia dan dunia macam apa yang hendak didefinisikan? Bahkan lebih jauh, bagaimana realita yang sudah didefinisikan itu diproyeksikan ke depan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hari-hari terakhir ini kian mendesak meminta jawaban dari anak muda bangsa Indonesia.
Akan tetapi, siapakah yang saya maksud dengan "anak muda bangsa Indonesia" ini? Mereka adalah anda sendiri: angkatan muda pemilik masa depan yang menolak dijadikan sandera oleh masa lalu, baik itu asumsi-asumsi kadaluwarsa maupun labirin konflik masa lalu yang menciutkan cakrawala. Tapi bukan berarti anak-anak muda semacam ini meninggalkan keberakarannya dalam realita hari ini. Justru mereka adalah anak-anak muda yang sadar akan jalannya sejarah dari realita yang mereka kecap hari ini.
Anda menyadari bahwa realita Indonesia hari ini adalah proyeksi masa lalu. Anda juga (sudah layak dan sepantasnya) menyadari bahwa jika bangsa dan republik ini berkehendak memanjangkan nafas peradabannya, maka pada hari ini pun anda bersama-sama saya mesti memroyeksikan Indonesia, sebagai proyek terus-menerus para pemimpin di masa depan. Pemimpin itu menawarkan realita baru dari pijakan realita kekinian.
Tentu saja kerja mendefinisikan realita itu berbeda dengan berkhayal atau menawarkan halusinasi yang membelot dari realita. Mendefinisikan realita yang dimaksud di sini adalah mendefinisikan gugusan cita-cita yang lahir dari proses pengamatan maupun keterlibatan aktif dalam hidup di realita hari ini. Keterlibatan aktif itu adalah persis seperti telah dikatakan oleh Alfan Alfian yaitu aktivitas "membuat "mimpi" menjadi masuk akal dan bisa diwujudkan melalui tahapan yang rasional-kalkulatif "[1].
Jika tidak ada upaya mendefinisikan dan memroyeksikan realita Indonesia secara sengaja, maka "Indonesia hanya akan menjadi sebuah nama bagi kerumunan gejala, sebab ia cuma hasil sampingan dari kerumunan tindakan individual atau sektoral yang kita lakukan".[2]
Karenanya, masa depan "hadir" di benak kita bukan sekedar untuk diidamkan atau ditakutkan (seperti sekawanan binatang liar yang menyerbu ke arah kita). Ia mesti kita hadirkan secara baik-baik dalam gugus rencana tindakan. Ketakutan dan kecemasan –sebagaimana juga ambisi dan obsesi— memang bisa menjadi penggerak awal bagi kerja menghadirkan masa depan kolektif, namun ia tak akan mengantarkan bangsa ini menjadi pemenang.
Segera saja pertanyaan-pertanyaan berikut ditumpahkan pada kita menunggu untuk dijawab: "punyakah kita privilese menentukan masa depan bangsa yang sekarang sedang diombang-ambingkan ayunan jejaring global?" "Seberapa banyak yang masih tersisa pada bekal sosial kita untuk menetapkan tujuan dan bergegas melakukan perjalanan?" Dan akhirnya adalah: "masih tersisakah para pemimpin (politik) kita yang punya jarak pandang tidak sebatas lima tahun ke depan saja dalam kerangka demokrasi prosedural?"
Global yang Kompleks
Dalam lintasan riwayatnya, kita diberitahu bahwa Indonesia adalah kekuatan penyeimbang sekaligus trend-setter di antara berbagai kekuatan besar di level internasional maupun di level regional. Peran sebagai inisiator Konferensi Asia-Afrika dengan Deklarasi Bandung-nya yang diakui sebagai teks politik dan sekaligus teks akademis yang berwibawa bagi diplomasi dan kajian Hubungan Internasional, menggagas kelahiran Gerakan Non-Blok, rencana (yang digagalkan Barat) sebagai tuan rumah CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) maupun pemimpin aktual dari negeri-negeri ASEAN, adalah petilasan kebesaran Indonesia di abad ke 20.
Global yang kompleks adalah adidaya yang bukan memborgol dan menghisap daerah jajahan seperti era kolonialisme klasik, atau menggantung dan mengeksploitasi negeri-negeri berkembang seperti era imperialisme abad ke 20, namun ia mau menelan bulat-bulat bumi (globe), di mana Indonesia hanya merupakan satu noktah. Kita tidak dirantai, tapi "dibebaskan" untuk bergerak dalam rongga-rongga saluran pencernaan global.
Sebagaimana pernah dingatkan oleh filsuf ekonomi Indonesia, murid Sosiolog Anthony Giddens dari LSE (London School of Economics), Herry B. Priyono, bahwa globalisasi tidak mau peduli apakah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini ada atau tidak, tapi NKRI ini dipaksa harus peduli pada globalisasi. Visi dunia global yang kompleks di abad ke 21 adalah visi para teoritisi ekonomi dan pelaku bisnis yang tiap tahun melakukan perhelatan di Davos, Swiss dalam World Economic Forum.
Dalam Report of the National Intelligence Council"s 2020 Project yang disusun oleh komunitas intelejen Amerika Serikat dan akademisi dari berbagai belahan dunia pada tahun 2004, "Dunia (dalam Citra) Davos" adalah salah satu skenario yang diprediksikan pada Abad ke 21 ini. Di sana, lansekap-nya akan juga ditandai dengan menguatnya fundamentalisme agama serta ambisi Amerika Serikat untuk membangun suatu dunia yang tata tentrem karta raharja, di mana nilai-nilai Amerika Serikat dalam politik, keamanan, ekonomi dan budayanya menjadi nilai-nilai yang dirujuk[3]. Katakanlah ini semacam Pax Americana (perdamaian yang teduh di bawah naungan payung Amerika Serikat) yang dijaga baik oleh orang semacam Kolonel Oliver North (ingat penjual senjata yang populer dalam skandal Iran-Contra Gate pada dekade 1980-an?) dan Kolonel Sanders sebagai penjaga cita rasa dan budaya kuliner manusia global.
Persis karena adanya kemungkinan-kemungkinan yang saling bersaing dalam warna global yang kompleks itulah, maka telah diprediksi adanya sejumlah Kepastian Relatif maupun Titik-titik Kunci Ketidakpastian.
Dalam lajur Kepastian Relatif, diprediksikan globalisasi akan makin memberi peran Asia yang lebih besar, mulai menggeser Eropa dan Amerika Serikat yang kian dibebani oleh penuaan penduduknya secara demografis, meskipun Amerika Serikat tetap menjadi aktor militer, ekonomi dan teknologi yang tetap berada di barisan depan. Di antara kepastian relatif lainya adalah juga menguatnya aktor-aktor non-negara, seperti perusahaan-perusahaan multi-nasional maupun antithesanya yaitu gerakan masyarakat sipil global.
Namun selain memrediksikan kepastian relatif, terdapat juga titik-titik kunci ketidakpastian dalam rupa demokrasi yang rapuh dalam menuntaskan kesenjangan-kesenjangan sosial di banyak negeri. Selain itu ketidakpastian dalam kemampuan melakukan resolusi konflik di antara berbagai aktor negara dan non-negara dalam memperebutkan sumber daya alam, khususnya energi, pun akan mengemuka.
Selain itu, yang perlu juga dijadikan landasan dalam pekerjaan membawa Indonesia melintasi New Frontier (Tapal Batas Baru) ini adalah kerja penggalian atas artefak kebudayaan Indonesia. Penggalian-penggalian tersebut diarahkan untuk mencari bagaimana kebudayaan menjadi modal dasar kerja perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Kita menyadari bahwa kebudayaan bangsa merupakan modal dasar bagi tiap anak bangsa melahirkan fikiran-fikiran dan melakukan praksis bagi penciptaan tata politik bernegara, tatanan ekonomi, perilaku berbisnis, perilaku dalam menyerap serta memroduksi pengetahuan. Tugas para pemimpin dan cerdik cendekia bangsa Indonesia adalah berusaha merumuskan, salah satunya, evolusi kelembagaan bangsa (baik pranata ekonomi, politik, budaya dan sebagainya) dalam interaksinya dengan perkembangan peradaban dunia.
Khusus dalam aspek evolusi sistem perekonomian, bangsa Indonesia telah melintasi sejumlah transisi yang oleh rekan-rekan dari Bandung Fe Institute (BFI) digambatkan dalam Tabel 1 berikut ini[4]:
Tabel 1. Karakteristik dari masing-masing tahapan evolusi sistem ekonomi.
Faktor | Ekonomi Berbasis Manufaktur | Ekonomi Berbasis Teknologi | Ekonomi Berbasis Inovasi dan Kreativitas |
---|---|---|---|
Tantangan | Pemenuhan Kebutuhan Hidup Manusia | Peningkatan Efisiensi Melalui Akusisi Teknologi | Revolusi Informasi |
Kuantitias Produk | Langka | Menengah | Berlimpah |
Kuantitas Informasi | Langka | Menengah (terlokalisasi di lingkungan akademik) | Berlimpah |
Ke-asimetrian | Akses Politik | Akses Teknologi | Informasi |
Lansekap | Negara (geopolitik) | Ruang (borderless) | Digital |
Konsep Perlawanan Yang Ada Di Dunia | Sosialisme, Marxisme | NeoMarxian, Mahzab Frankfurt | Gerakan Perlawanan Lokal |
Jawaban Indonesia | Kemerdekaan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) | Habibienomics, Teknologi Madya | BELUM ADA: SILAHKAN KITA ISI BERSAMA |
Dalam tabel tersebut, rupanya di era New Frontier ini, masa ketika tantangan dan janji-janjinya belum bisa kita kenali, Indonesia tengah memasuki dunia yang perekonomiannya menuntut inovasi dan kreativitas.
Di sini kita sedang memasuki era terjadinya ledakan kreativitas manusia, yang dirangsang oleh teknologi informasi dan sumber referensi yang berlimpah. Dengan keadaan ini, tiap manusia yang kreatif, sejauh bisa memanfaatkan secara optimal ledakan informasi ini kemudian bisa melakukan proses imitasi dan modifikasi yang memanfaatkan local genius dan local wisdom (sebagai warisan budaya) untuk menjadikan produk-produk lokalnya memiliki nilai pasar yang tinggi.
Terlepas dari agenda-setting di belakang proyeksi tersebut, cukup cerdas dan sigapkah kita ber-strategi secara sistematis di hadapannya?
Pada level dan tahapan inilah para perancang strategi Indonesia semestinya bisa memberikan jawaban bagaimana mereka melakukan proses inventarisasi kreativitas dan kejeniusan-kejeniusan lokal yang sudah lama tertanam di tanah Nusantara ini dan menjadikan mereka produk unggulan bangsa dalam kompetisi global ke depan.
Bagaimana lagi kita mesti bersiasat di hadapan gejala ini? Kekalapan dan xenophobia tentu tak akan membantu apa-apa. Berpikir sistematis dengan pendekatan teori kompleks adalah satu-satunya kewarasan yang sanggup kita lakukan. Berpikir sistematis artinya berpikir tentang masa depan dengan pertama-tama menerima dinamika realita apa adanya dan segera meletakkanya sesuai urutan komplekitas tantangan, besarnya peluang maupun beratnya ancaman sesuai kapasitas kita untuk menanggulanginya.
Berpikir sistematis dengan pendekatan teori kompleks ini menyuruh kita untuk berpikir secara horizontal (lintas sektoral dan geografis) sekaligus bersifat vertikal (merentang dari sistem global kompleks yang dominan, negara dan pada akhirnya sampai ke tingkat individu) dalam gerak yang dinamik dan non-linear. Ambil misal: melihat gejala meningkatnya angka kemiskinan di kampung kita dan kampung tetangga, berhubungan dengan kenaikan harga bahan pokok, yang berkorelasi dengan gejolak harga minyak dunia.
Contoh yang sederhana ini adalah cara berpikir sistematis yang bersifat horizontal (misal: bersifat lintas kampung dan dampak kemiskinannya menimpa bukan cuma buruh, melainkan juga pedagang kaki lima) sekaligus vertikal (kemiskinan di kampung sendiri, sebagai akibat kebijakan negara yang dipengaruhi gejolak harga minyak dunia). Kebebasan informasi termasuk kebebasan pers yang kita nikmati sekarang sangat membantu rakyat di level bawah memahami cara berpikir sistematis ini.
Jika berbicara mengenai perlunya berfikir sistematis dalam level nasional, tentu saja yang kita butuhkan adalah terdapatnya strategi nasional. Strategi nasional ini bermaksud menggabungkan segenap kapasitas/kemampuan bangsa, di masa damai maupun di masa perang, dalam mencapai kepentingan dan tujuan nasional. Termasuk dalam strategi nasional ini adalah strategi politik eksternal dan internal; strategi ekonomi dalam negeri dan luar negeri serta sebuah strategi pertahanan nasional.
Secara konvensional, perencanaan strategis biasanya cukup diserahkan kepada lingkaran terbatas ahli strategi. Mereka adalah segelintir orang yang lebih tertarik dalam memberikan rancangan arah bangsa serta secara cermat selalu melihat adanya kesenjangan antara aktivitas ekonomi masyarakat dengan perangkat-perangkat aturan politik maupun hukum yang mengaturnya sehari-hari. Para perancang strategi ini biasanya bekerja dalam ruang dingin untuk menyusun dan mengisi jurang (gap) yang menganga antara sektor-sektor tersebut dengan pilihan-pilihan strategis yang bisa menopang daya hidup sistem, negara maupun masyarakat.
Hanya jika cara berpikir sistematik sudah kian menyebar dengan dibantu oleh media massa dan partai politik yang ideologis-strategis, maka baru dari sanalah strategi nasional disusun. Penyusunan strategi muncul bukan sebagai pencerminan realitas obyektif (karena tugas itu sudah diselesaikan dengan cara berpikir sistematis), melainkan sebagai cara membentuk realita masa depan yang kita inginkan bersama. Gugus perencanaan strategis merupakan pemecahan masalah, sementara desain partisipatoris adalah proses menciptakan tujuan bersama, di mana tujuan-tujuan tersebut diseleksi dan diciptakan melalui proses riset dan pertukaran gagasan makro hingga mikro.
Proses tersebut melibatkan refleksi perjalanan sejarah bangsa dan refleksi sektoralnya, sebagai titik tolak untuk memroyeksikan kepentingan nasional dan strategi nasional kebangkitan Indonesia ke dua. Dengan proses demikian, maka produk terpenting dari desain partisipatoris ini bukanlah dalam rupa tambahnya pengetahuan dan pemahaman belaka atas kondisi yang ada atau kemungkinannya di masa depan, melainkan juga memungkinkan para partisipan untuk menyusun agenda tindakan bangsa.
Karenanya yang kita butuhkan adalah semacam biro desain yang, selain mengumpulkan sejumlah pakar profesional, juga merupakan sebuah jejaring banyak pihak yang bekerja dan belajar bersama untuk menyusun visi dan strategi kebangkitan bangsa untuk satu abad mendatang. Kandidat yang dilibatkan adalah kalangan grand strategists berlatar belakang jurnalis media, pengusaha, LSM, serikat buruh, organisasi petani, mahasiswa, budayawan, agamawan, akademisi, pejabat nasional, pejabat lokal, anggota parlemen/partai politik, pakar manajemen, pakar intelijen strategis, dan semacamnya. Mereka lah yang akan menggali visi dan strategi bangsa secara serial dan periodik di berbagai level masyarakat.
Setidaknya, melalui metode Anticipatory Action Learning (AAL) seperti yang dianjurkan oleh Tony Stevenson[5], dalam konteks Indonesia ada sembilan langkah yang mesti bisa dirumuskan bersama oleh para partisipan yang terlibat, yaitu:
Singkatnya, ini merupakan sebuah pekerjaan bersama untuk dijadikan rekomendasi kebijakan yang bersifat visioner dan strategis. Namun berbeda dengan unit-unit analisa strategis yang biasanya terbatas pada sekelompok kecil pakar, biro desain yang bersifat partispatoris ini bersifat meluas sebagai sebuah jejaring yang berragam latar belakang.
Pengalaman hari ini banyak mengajarkan bahwa menapaki peta jalan kebangkitan, tanpa kejernihan atau hanya berbekal rasa cinta diri berlebihan (narcissm) dari para pemimpin bangsa pasti segera menjebakkan kita dalam labirin ke-seakan-an.
Namun para perancang strategis ini tak akan memiliki kemampuan mengeksekusi agenda-agenda mereka tanpa adanya faktor kepemimpinan politik yang bervisi jauh ke depan. Para pemimpin yang visioner ini lah yang pada gilirannya akan memberikan payung politik sehingga agenda-agenda strategis untuk bangsa ini bisa dijalankan.
Pertanyaan segera muncul: bagaimana seorang pemimpin visioner lahir (dan bersamanya lahir kepemimpinannya yang visioner pula)?
Genesis Kepemimpinan Visioner
Mari kita menyimak sketsa ini: saat Partai Demokrat AS menyelenggarakan konvensi tahun 2004 dan seorang senator muda dari negara bagian Illinois bernama Barack Obama pertama tampil di panggung dunia, tergelar jelas sebuah cita-cita yang diingatkan di sana. Terutama yang meninggalkan kesan tidak lah dari ciri-ciri fisiknya sebagai seorang senator berkulit hitam atau usia mudanya ataupun juga artikulasinya yang memesona.
Saat dengan fasih sang senator menggambarkan riwayat hidupnya, latar belakang ras-nya yang kongruen dengan nilai-nilai dasar alasan berdirinya Amerika Serikat, yaitu bahwa "Kita percaya kebenaran ini akan terbukti dengan sendirinya, bahwa semua manusia diciptakan setara. Bahwa mereka sudah dianugerahi oleh Sang Pencipta sejumlah hak yang tidak bisa diambil. Bahwa di antara hak-hak itu adalah hak hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan," maka saya melihat bahwa sang senator muda adalah the living example dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Ya, contoh yang hidup dari satu dokumen tentang ruh bangsa (baca: Deklarasi Kemerdekaan) yang sudah lama terkontaminasi oleh diskriminasi rasial dan politik ekspansionisnya ke dunia, terutama selama era kepresidenan George W. Bush.
Artinya sebagai seseorang yang di kelak kemudian hari terpilih sebagai preiden Amerika Serikat, sosok Obama merupakan penubuhan (avatar) dari semangat awal bangsanya. Hanya sosok yang demikianlah yang menurut saya bisa melampaui sekedar posisi kepresidenan, karena dia mampu meraih kepemimpinan moral atas banyak hal bagi bangsanya.
Sebagaimana kita ketahui dalam sebuah negeri demokratis, presiden bisa datang dan pergi secara rutin nyaris seperti ritus berkala dari keyakinan berdemokrasi. Namun seorang pemimpin (bukan sekedar presiden) pasti melampaui ritus itu karena ia lahir justru untuk melepaskan kaum yang dipimpinnya dari gundukan ritual-ritual prosedur demokrasi untuk kemudian menghidupi nilai-nilai substantif, langsung dengan jiwa, rekam jejak, darah dan dagingnya sendiri.
Obama lahir sebagai pemimpin yang inspiratif dan visioner karena di kekalutan disorientasi AS di dalam maupun di luar negeri yang menjauh dari nilai-nilai ke-Amerika-an, dia menawarkan kesetaraan ke dalam masyarakatnya dan tawaran perdamaian ke masyarakat dunia tanpa kompromi, sebagaimana diceritakan sendiri oleh mantan manajer kampanye Obama, David Plouffe[6].
Komitmen Ideologi Pemimpin
Jika seorang Obama merupakan penubuhan dari nilai-nilai Deklarasi Kemerdekaan AS, maka sesungguhnya dia sedang menegaskan komitmen ideologisnya sebagai pemimpin. Komitmen ideoogis itu mau dia tunjukkan bukan dengan kemampuannya mengartikulasikan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan secara elegan belaka, namun sampai menunjukkan bahwa perjalanan hidupnya sendiri adalah contoh hidup dari nilai kebebasan dan kesetaraan a la Deklarasi Kemerdekaan AS.
Komitmen ideologis inilah yang menegaskan niatan untuk mengutamakan pelayanan publik (pelayanan, integritas dan keberanian) untuk mewujudkan cita-cita dasar AS.
Dengan mengambil contoh dari Obama, yang mau dikatakan di sini adalah bahwa Indonesia yang pada hari ini sedang di ambang pintu tapal batas (New Frontier) menuju kawasan baru pergaulan dunia (maupun pengelolaan bangsanya) perlu sebuah "terapi kejut". Terapi kejut untuk mengingatkan akan alasan adanya (raison d"etre) Indonesia pada tahun 1945.
Tak ada tempat lain untuk kita segera saja bisa menemukan apa itu Indonesia kecuali kita membaca lagi teks Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila yang dikandunginya, yang adalah deklarasi kemerdekaan kita sebagai bangsa.
Di dalam konteks negeri kita, seorang pemimpin yang dipastikan bisa memikul sejarah Indonesia melewati tantangan di daerah tapal batas kawasan baru adalah yang bisa menjadi the living example dari pelayanan, imtegritas serta keberanian untuk melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945.
Jika harus dijelaskan, maka Indonesia sekarang sedang menagih kelahiran sosok pemimpin republik yang dalam dirinya menubuhkan kuasa perlindungan pada segenap rakyat dan tumpah darah Indonesia; tidak mementingkan diri sendiri karena ia berorientasi untuk menyejahterakan masyarakat secara umum/menyeluruh; tidak bersikap paranoid pada sikap kritis dan cerdas namun justru mendorong pencerdasan bangsanya; dan tidak punya perasan inferior tapi justru cakap dalam membawa diri di fora pergaulan internasional membawakan agenda tata dunia baru yg merdeka, damai dan adil.
Artinya komitmen ideologis sang pemimpin pada Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu Pembukaan UUD 1945, diukur (dan hanya bisa diukur) melalui pelayanan, integritas dan keberanian melaksanakan itu semua. Pada gilirannya, nilai-nilai pelayanan publik sebagai tolok ukur komitmen ideologis ini juga perlu diikuti dengan kemampuan melakukan refleksi diri dalam proses pembelajaran yang tak kenal lelah, kreatif serta penuh dengan imajinasi yang didaratkan ke bumi realita.
Yang sedang saya bicarakan di sini adalah gugusan aktivitas berfikir dan aktivitas merasa dari sosok pemimpin dalam mengendapkan perjalanan Republik Indonesia sejak berdirinya pada tahun 1945 hingga detik ini.
Refleksi diri itu kira-kira di antaranya akan melacak, ber-peka rasa dan berfikir ke belakang tentang bagaimana bangsa ini telah melintasi sekian etape perjalanan yang diperkaya oleh pergulatan ide hingga perkelahian fisik untuk bertahan hidup dan bangkit dari puing-puing. Kita sadar bahwa kerapkali pergulatan tersebut meretakkan sejumlah sendi-sendi kebangsaan. Retakan tersebut berlangsung sangat lama sehingga bangsa ini dalam periode tertentu gagal memperoleh sebuah pemerintahan "yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" karena ada sebagian anak bangsa yang disingkirkan, baik karena pandangan politiknya, sukunya maupun agamanya.
Sementara, proses pembelajaran yang tak kenal lelah adalah mencari tahu potensi sumber daya bangsa yang menyebabkan Indonesia tetap survive hingga hari ini.
Di lain pihak, komitmen ideologis sosok pemimpin Indonesia juga diukur oleh kemampuannya membentuk serta menyuarakan apa yang disuarakan oleh para pendukungnya sehingga dia berhasil diusung ke ketinggian tampuk kepemimpinan bangsa[7].
Tentu harapan-harapan dan aspirasi itu lah yang akan memberikan diferensiasi bagi pesan maupun pola kepemimpinannya dalam proses kontestasi demokratis. Itu lah komitmen ideologis seorang pemimpin Indonesia yang berisi nilai-nilai pelayanan publik yang pada gilirannya akan melandasi visinya.
Kinerja Pemimpin
Namun, komitmen ideologis bagi pelayanan publik ini saja tidak memadai bagi lahirnya sosok pemimpin. Ia juga menuntut kecakapan dan kehandalan berkinerja. Kecakapan dan kehandalan berkinerja itu tentu mesti mengiringi perjalanan sosok para pemimpin Indonesia ke depan, yang salah satu di antaranya adalah kecakapan dalam memroduksi kebijakan publik.
Tanpa kinerja yang cakap dalam melahirkan kebijakan publik, maka komitmen ideologis paling banter hanya akan menjadikan seseorang mahaguru bangsa, tanpa bisa berhasil memimpin bangsanya dalam perjalanan empirisnya. Setidaknya ada sejumlah tolok ukur untuk bisa melihat apakah seseorang memiliki kecakapan dalam membangun kinerja untuk memroduksi kebijakan publik. Tolok ukur-tolok ukur itu adalah:
A. Membuat Keputusan:
Seorang pemimpin Indonesia ke depan dituntut untuk membuat sejumlah keputusan yang tidak mudah, melihat berbagai macam kemungkinan yang ada, maupun ketika mencoba menjaga keseimbangan di antara berbagai pilihan yang tersedia. Misalnya: bagaimana dia harus memilih untuk menjalankan kebijakan subsidi bagi pendidikan atau penyediaan negara untuk membiayai Jaminan Sosial sebagaimana diamanatkan oleh UU SJSN (Sistem jaminan Sosial nasional) tahun 2004? Apakah sang pemimpin harus membuat kebijakan menerapkan pajak progresif untuk membiayai mereka yang sangat membutuhkan jaminan sosial dari negara? Sementara dengan menerapkan pajak progresif, mau tak mau sang pemimpin akan kehilangan sebagian dukungan dari kalangan yang berpendapatan tinggi. Dukungan dari kalangan berpendapatan tinggi bisa berkurang karena mereka merasa harus menanggung beban lebih banyak lagi (dalam bentuk pajak) untuk memungkinkan negara memberikan jaminan sosial.
Sang pemimpin juga harus melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang disodorkan oleh para menteri dan penasehatnya untuk membiayai program tersebut, misalnya dengan berhutang. Tentu saja itu merupakan sebagian contoh dari dilemma-dilema kebijakan publik yang akan menguji kemampuan sang pemimpin Indonesia dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
B. Efektivitas Personal Sosok Pemimpin:
Seorang pemimpin yang akan membawa Indonesia melintasi pintu gerbang tapal batas baru semestinya adalah seseorang yang bisa menempatkan diri dan mengelola emosi dirinya. Karena apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan panjang yang terjal ini adalah "sebuah kawasan liar dengan peluang dan bahaya yang belum dikenal----sebuah kawasan harapan dan ancaman yang belum terwujud", begitu kata John F. Kennedy ketika untuk pertama kali menerima pencalonannya sebagai presiden dari Partai Demokrat[8].
Karena barunya (bahkan: belum dikenalinya) harapan-harapan dan tantangan-tantangan di kawasan tapal batas baru tersebut, tentu saja sang pemimpin mesti mampu menanamkan keyakinan di hati rakyatnya bahwa di bawah kepemimpinannya, bangsa Indonesia akan segera saja mengenali ancaman dan tantangan baru tersebut, serta mengubahnya menjadi harapan yang akan segera diraih.
Dalam hal ini, para pembuat kebijakan (para pemimpin) Indonesia ke depan diminta untuk menyusun manajemen pembuatan keputusan yang pas, baik dari aspek tempat maupun waktu. Setidaknya ada tiga kerangka waktu dalam memimpin dan mengelola negara, yaitu:
Tujuan dari kepemimpinan yang visioner ini adalah daya hidup bangsa untuk jangka panjang dengan menemukan pilihan-pilihan baru melalui pengkerangkaan kembali, proyeksi seta menciptakan kemampuan-kemampuan bangsa yang baru (ketrampilan, pengetahuan serta sumber daya-sumber daya baru). Di samping itu, pemimpin visioner akan diuji oleh kemampuannya memahami tanggungjawab kolektif, membangun koalisi serta cermat dalam memberikan penilaian atas situasi dan kondisi masyarakatnya/bangsanya.
C. Inteljensia Politik
Rupanya efektivitas personal saja tidak memadai, dibutuhkan juga intelejensia politik seorang pemimpin Indonesia. Dalam konteks Indonesia sekarang, kita hanya punya manajemen yang sifatnya sebatas operasional dan strategis dalam ritus lima tahun-an, sesuai usia rentang waktu jalannya pemerintahan. Pada kenyataannya bisa lebih parah dari itu. Bahkan manajemen yang bersifat strategis itu pun kian sulit ketika sistem multi-partai yang kompleks telah menimbulkan fragmentasi politik yang begitu meluas dalam masyarakat politik kita.
Di satu sisi, fragmentasi tersebut tidak serta merta menggambarkan perbedaan ideologis- strategis dalam kebijakan nasional maupun globalnya. Namun di sisi lain juga, kompleksitas multi-partai yang ada tidak banyak membantu pemerintahan "yang didukungnya" agar kian mendekatkan pada tujuan berbangsa dan bernegara "untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa."
"Hak untuk sekedar ada" lantas lebih menonjol ketimbang mati-matian mengoptimalkan peluang untuk memberi bobot bagi kerja spartan kita merancang bangun proyek kebangkitan Indonesia ke depan. Padahal konsepsi partai politik lahir di masyarakat demokratis adalah untuk menjalankan fungsi membangun spirit kewarganegaraan yang aktif dan terorganisasi (organized active citizenship). Multi-partai yang kompleks lantas mudah memancing kecurigaan bahwa gejala tersebut lebih mencerminkan kepanikan ketimbang menebar cara berpikir dan bekerja secara sistematis yang melekat dalam konsep kewarganegaraan yang aktif dan terorganisasi, dalam institusi partai politik.
D. Mobilisasi Organisasional dan Pemahaman Pembagian Tugas :
Bagi seorang pemimpin Indonesia di masa mendatang, dia dituntut ke dalam maupun keluar untuk menjadi kekuatan dalam rupa sosok yang berdiri di depan. Ke dalam, dia mesti bisa memerankan diri sebagai inspirator sekaligus motivator bagi rakyatnya. Artinya, sang pemimpin mesti bisa mengambil langkah-langkah terobosan yang menjadi inspirasi bagi rakyat dalam sejumlah kebijakan publik. Yang tidak kalah pentingnya adalah dia juga mesti mampu memotivasi para bawahan dan organisasi pemerintahan di bawahnya untuk mengeksekusi kebijakan tersebut.
Sebagai seorang pemimpin negara, tentu pemahaman akan tugas dan wewenang berlapis-lapis jajaran birokrasi menjadi keharusan. Meskipun tidak harus memahami seluruhnya secara rinci, setidaknya dia mampu memahami pembagian peran antara berbagai bagian, melacak kemajuan dan kinerja bagus dari seluruh mesin pemerintahan.
Dengan begitu dia akan mampu melakukan evaluasi baik atas kemajuan maupun kemunduran dalam program-program yang terutama menyangkut peningkatan kesejahteraan rakyat , pemberantasan kemiskinan dan memperjuangkan pemerataan.
Kita tahu bahwa ketiga hal tersebut masih menjadi masalah pokok di Indonesia. Karenanya pemimpin Indonesia ke depan mesti menyadari bahwa mereka wajib melakukan penataan birokrasi dan kelembagaan untuk segera menggerakkan program-program seperti:
Jika mesin birokrasi yang menunjang semua itu bisa menjalankan pembagian tugas dengan benar, dan indikator keberhasilan maupun kegagalannya yang obyektif sudah bisa ditetapkan, maka pemimpin Indonesia ke depan dipastikan mampu mendekatkan bangsa ini untuk memenuhi cita-cita Deklarasi Kemerdekaan untuk "memajukan kesejahteraan umum".
Pencitraan Pemimpin
Di lain pihak, di era demokrasi liberal seperti sekarang, juga terjadi proses politik di Indonesia yang mengarah pada personalisasi politik. Pemilihan kepala daerah langsung, pemilihan presiden secara langsung maupun pemilihan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak (khususnya pada Pemilu 2009 yang baru lewat), makin mengukuhkan personalisasi politik itu.
Dengan fenomena tersebut maka tiap-tiap aktivitas politik yang beraspirasi untuk menduduki jabatan publik dipacu oleh kondisi obyektif untuk menjadi pertarungan citra pribadinya. Kecenderungan ini terutama sekali muncul untuk pertama kalinya dalam pemilihan presiden 2004. Harus diakui pasangan capres-cawapres SBY-JK adalah pasangan kandidat yang paling awal mengoptimalkan politik pencitraan pribadi. Ukuran keberhasilan dari politik pencitraan pribadi ini adalah sejauh mana opini publik makin menempatkan si kandidat pemimpin sebagai figur paling populer. Instrumen-instrumen yang digunakan untuk mengukur itu adalah jajak pendapat atau polling melalui lembaga survei. Seolah persepsi publik yang tercermin dari opini mereka atas kandidat (meskipun kerapkali pemahaman mereka tidak mendalam) adalah ukuran tingkat penerimaan (acceptability) secara politik. Pada gilirannya hal tersebut akan berpengaruh besar pada tingkat keterpilihan (electability) untuk menduduki jabatan/kekuasaan.
Karena itu setiap calon pejabat publik atau bahkan yang sudah menjadi pejabat publik harus mampu menyusun setidaknya dua hal, yaitu: arah strategi pemenangan politik dan juga komunikasi politik untuk membangun citra politik.
Arah strategi pemenangan politik menuntut calon pemimpin untuk menyusun strategi perencanaan kampanye, mobilisasi dukungan dan mengonsolidasikan posisi unggul sejak awal proses pemenangan. Begitu juga dengan komunikasi politik baik itu pada tingkat substansial yaitu mengomunikasikan nilai-nilai, pesan maupun program politik sang calon pemimpin maupun juga mengomunikasikan penampang luar, seperti penampilan, cara berpakaian, cara bertutur kata, gerak tubuh dan semacamnya.
Dalam masyarakat demokratis yang masih berkembang seperti Indonesia, sang kandidat pemimpin lebih sering tergoda untuk mengemas komunikasi politik mereka pada tampilan perwajahan sosok, ketimbang pada substansi.
Jika kecenderungan ini yang berdominasi, maka bisa dipastikan politik demokrasi kita akan menjatuhkan diri menjadi politik periklanan belaka. Jika pada periklanan komersial yang jadi ukuran keberhasilan adalah angka penjualan produk, maka tolok ukur dalam periklanan politik adalah jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu, baik legislatif, pilkada maupun pilpres.
Inilah yang kerapkali saya ingatkan sebagai "kuantitatif politik" yang kemudian sangat bersandar pada kekuatan politik pencitraan semata (image building). Indonesia diserbu oleh politik gelembung (bubble politics) yang memberikan hiburan yang tidak sepenuhnya sehat. Situasi ini justru sangat bertentangan dengan politik dalam pemaknaan terhadap relasi sosial (sosiologis) dengan lingkungan dan masyarakat, kesadaran untuk bertindak secara individual dan kolektif (antropologis), cita-cita tentang suatu bangunan individu yang dinamis dan masyarakat yang kompleks (psikologis), serta suatu relasi kekuasaan yang melahirkan dinamika masyarakat dan kesenjangan sosial (ekonomi-politik)."[10]
Jika para calon pemimpin kita mengabaikan hal-hal tersebut hanya untuk mengejar pencitraan belaka, berarti mereka hanya mau cari gampangnya saja.
Menghimpun dan Menyemai
Selalu ada bahaya mengancam jika akhirnya para pemimpin hanya mau cari gampangnya saja. Atau, jikapun mau mendengar, kebijaksanaan tertinggi sang pemimpin dia peroleh dari para teknokrat yang terisolir dari masyarakatnya, yaitu orang-orang yang tidak merasa berkepentingan jadi bagian dari proyek kebangkitan bangsanya.
Untuk ini, jenius ekonomi dari Universitas Cambridge, John Maynard Keynes, pernah mengingatkan bahwa: "Gagasan para ekonom dan para filsuf politik, baik ketika gagasan mereka benar atau salah, rupanya lebih berkuasa ketimbang yang biasanya kita sangka. Malahan sebenarnya dunia ini dikuasai oleh sesuatu yang lain. Sementara itu, orang-orang praktis, yang begitu percaya diri bahwa mereka cukup terbebas dari pengaruh pemikiran intelektual apapun, sering membudakkan diri pada para ekonom yang usang ini". Sebuah peringatan keras dari Keynes atas bahaya yang bisa ditimbulkan oleh "orang-orang pintar" yang tidak berkarakter!
Karena itu, untuk sebuah bangsa yang hendak memasuki New Frontier atau tapal batas baru, kebijaksanaan tertinggi mesti dimulai dari cerdik cendekia yang menjadi perancang strategi besar (grand strategists), yang menyebar sebagai lingkaran patriotik dalam komunitas-komunitas produktif-kolektif masyarakat. Mereka inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, namun dari jenis pembangun visi bersama dan penyusun strategi bangsa.
Mereka adalah anda sendiri, yang digairahkan terutama bukan sekedar oleh kegaduhan persepsi publik dalam rangka membangun citra belaka.
Anda akan lebih merasa dimuliakan oleh nilai-nilai pelayanan publik sebagai cermin kejelasan dan komitmen ideologi. Anda adalah pekerja keras di siang hari, agar punya waktu untuk memerciki diri dengan tafakur permenungan di malam hari dengan buku dan pena. Dengan begitu semesta fikir anda bisa dipatrikan dalam catatan untuk dibaca, diteruskan ataupun dibatalkan oleh generasi mendatang.
Anda pun akan lebih tertantang dalam pembuktian dengan kehandalan pembuatan kebijakan publik , yang menggambarkan kesigapan kinerja sang pemimpin Indonesia di masa depan untuk membawa bangsa ini melintasi New Frontier, tapal batas baru yang liar dengan bahaya maupun peluang yang belum kita kenali seutuhnya. Bersama-sama, marilah kita bekerja keras untuk itu...
*Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI; dan Presiden KIM (Kabinet Indonesia Muda)
REFERENSI:
[1] Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta, 2009
[2] Herry B. Priyono, Mencari Pemimpin Republik, Kompas, 2008
[3]Report of the National Intelligence Council"s 2020 Project, 2004
[4] Hokky Situngkir, Budaya sebagai Panglima Kebijakan Bangsa, Makalah untuk Konsolidasi "Wawasan Wiyatamandala dan Metode Ilmiah dalam Pembuatan Kebijakan Publik," KIM (Kabinet Indonesia Muda), Tidak Diterbitkan, 2009
[5] Tony Stevenson, From Vision into Action, Futures 38.6, Agustus 2006
[6] Dalam bukunya, "The Audicity to Win", Plouffe menceritakan bahwa pesan kampanye yang mau disampaikan oleh Obama ke publik Amerika adalah: "negeri ini butuh pertolongan dan perubahan fundamental; (orang-orang di) Washington tidak pernah berfikir jangka panjang; dan kita dihadapkan pada tantangan-tantangan besar seperti (kelangkaan) energi dan pelayanan kesehatan (yang terjangkau); (para pengusung) kepentingan-kepentingan sempit dan para pe-lobby memiliki cengkeraman kekuasaan yang terlalu besar, dan rakyat Amerika perlu untuk sekali lagi bisa mempercayai dan terlibat pada demokrasi mereka sendiri, negeri ini terlalu terpecahbelah; dan kelas menengah serta mereka yang ingin menerobos masuk menjadi bagian kelas menengah, khususnya anak-anak mereka, menghadapi resiko kian berkurangnya peluang dibandingkan generasi sebelumnya"
[7]Ada pengalaman pribadi yang pernah saya lalui, khususnya dalam soal komitmen ideologis seorang pemimpin negara dan pembelaan atas aspirasi rakyat yang mendukungnya. Pengalaman ini terjadi padabulan Agustus tahun 2008 ketika saya berkesempatan diundang dalam pelantikan Presiden Republik Paraguay di Amerika Latin, Fernando Lugo. Pada hari pertama masuk ke istana, Lugo mengajak saya, Rikard Bagun dari Harian KOMPAS dan seorang Indonesia sahabat Lugo, Martin Bhisu, untuk duduk di samping meja kerjanya di istana. Selama empat jam kami diminta menyaksikan dia memeriksa dan menandatangani sejumlah Instruksi Presiden pada hari pertama kerjanya, di antaranya mengenai reformasi birokrasi Paraguay (yang merupakan salah satu yang terkorup di dunia), distribusi tanah untuk petani tak bertanah, emansipasi kaum Indian dan sebagainya, di hadapan sejumlah menterinya. Menteri Sekretaris Negara Paraguay yang baru, Miguel Lopez Perito, sempat bergumam: "Kekuasaan sekarang di tangan kita…Kita akan manfaatkan sebaik-baiknya untuk rakyat! Kita akan tindak tegas orang-orang itu.." Tak terbayang keteguhan hati Lugo untuk memberantas ketimpangan sosial dan membela rakyat melalui kekuasaan yang digenggamnya, mengingat 77% tanah di sana selama hampir dua ratus tahun hanya dikuasai 1% saja dari penduduknya, sementara 99% mayoritas rakyat di sana hanya menguasai 23% tanah
[8] John. A. Barnes, "John F. Kennedy on Leadership", BIP kelompok Gramedia, 2007
[9] Dalam Rakor Ekuin dari KIM (Kabinet Indonesia Muda) pada tanggal 4 januari 2010 sudah dikemukakan adanya fakta bahwa sekarang ini Indonesia sebenarnya sudah memiliki Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah diundangkan melalui UU no. 40/2004. Namun sampai saat ini pelaksanaannya terbengkalai oleh pemerintah, baik KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) 1 maupun KIB 2. Untuk melaksanakan SJSN sesuai UU, maka Rakor Ekuin KIM sudah merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia sekarang ataupun ke depan harus berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik untuk,:
[10]Budiman Sudjatmiko, Politik Aliran dalam Pancasila:Keniscayaan Sejarah dan Antitesis Fundamentalisme, Tanggapan atas Nurcholis Madjid Memorial Lecture oleh Prof. Dr. Syafi"i Ma"arif, Belum Diterbitkan, 2010
Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi New Frontier.pdf
Jakarta, 18 Desember 2013 - UU Desa resmi disahkan dalam rapat paripurna di gedung DPR.
Ini adalah refleksi perjalanan perjuangan saya dalam pemberdayaan masyarakat dan untuk mengubah sistem menuju Indonesia yang lebih baik....
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
Kami tidak ingin bantuan bisa menjadi berkah bagi desa, bukan sebaliknya menjadi musibah buat para kepala desa. Jadi perlu persiapan, menyongsong diberlakukannya UU desa itu, sekaligus pemahaman terhadap aturan yang berlaku...
© 2023 Budiman Sudjatmiko • kontak / privacy policy / terms |