Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:
YOGYAKARTA, (PRLM).- Mengikuti sejenak perjalanan Budiman Sudjatmiko dalam sosialisasi UU Nomor 6/2014 tentang Desa, laksana mengikuti metamorfosa politik nasional. Putra kelahiran Cilacap, 10 Maret 1970 selalu dicekal bersentuhan dengan orang desa oleh rezim Orde Baru karena visi perjuangan pemberdayaan rakyat dan Ketua Partai Rakyat Demokratik.
Melihat Budiman dalam kapasitas anggota FPDI Perjuangan dan Wakil Ketua Pansus UU Desa, berdiri di depan anggota musyawarah pimpinan kecamatan -- terdiri dari para lurah, camat, anggota bintara pembina desa (Babinsa) dan intel polisi dalam sosialisasi UU Desa, laksana menyaksikan bukti perubahan rezim dan benar-benar bebas, tidak ada lagi stigma sebagai terpidana tragedi politik 27 Juli 1996.
Di Aula Kecamatan Windhusari, Magelang dan Forum Desa Nusantara di Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Magelang,dia berbicara tenang dan dalam. Nada membakar, menggugat rezim otoriter dan provokasi memberontak diganti dengan nada motivasi kepada perangkat desa.
Dia mengibaratkan UU Desa menjadi simbol periode baru masa depan desa. Kepala desa semula hanya memiliki wewenang kewilayahan dan administrasi warganya, UU Desa menambah wewenang baru berupa kepala desa menjadi pengguna anggaran. Setiap desa rata-rata mendapatkan dana partisipasi pembangunan Rp 1 miliar per tahun dan perangkat desa merespon antusias. “Jika masa lalu kita mendengar istilah perangkat desa kering-kering sedap menjadi ngeri-ngeri sedap, dari tidak ada duit (kering) menjadi berduit atau banyak duit, jadinya ngeri-ngeri sedap,” kata dia.
Dalam pernyataan lebih lanjut Minggu (9/2/2014), dia menyatakan 60 persen bangsa ini rakyat pedesaan, layak mendapat anggaran setimpal. Selama ini desa mendapat sisa-sisa anggaran pemerintah, alokasinya tak sesuai kebutuhan desa. Perlakuan desa “tidak manusiawi”.
“Saya berharap UU Desa ini awet yang bicara dari soal dada sampai kaki desa, mendekatkan pemberdayaan rakyat. Saya terobsesi UU ini menjadi training ground untuk merayakan kemerdekaan RI 2045 dan saat itu tidak satupun ada lagi orang menyesal menjadi rakyat indonesia, menghentikan sparatisme, tidak menjual hak suara untuk memilih calon wakil rakyat,” katanya.
Seorang kepala desa tanya kepada Budiman, apakah dana desa steril dari politisasi? Sebagai mantan aktivis, dia tampak memahami respons curiga kepala desa terhadap dana desa. Menurut dia muatan politik selalu melekat dalam kebijakan apapun karena semua undang-undang dan kebiajakan pemerintah sebagai produk politik. Agar tidak dijadikan sasaran politk destruktif, orang desa harus melek politik, bukan menjauh dari politik seperti masa Orde Baru. “Kita harus mengisi era kebebasan ini dengan ide-ide progresif,” ujarnya.
Agar dana desa tidak dikorupsi, menurut dia, perangkat desa harus mengelola secara transparan, program desa sistematis, warganya menjadi pengawas, Dia pun menyarankan, tahun pertama dana desa 50 persen untuk pengembangan SDM desa seperti kursus administrasi, manejemen, keuangan, 50 pengembangan infrastruktur. Empat tahun berikutnya, angggaran SDM sebesar 40, 30, 20, 10 persen, sisanya pengembangan infrastruktur. Mengakhir presentasinya, dia menyelipkan pesan kaum sosialis, “Pembangunan desa tak boleh menciptakan konflik dan kesenjangan, sebaliknya pembangunan desa harus menciptakan kedamaian sosial dan keadilan sosial." (A-84/A-147)
Sumber: pikiran-rakyat.com
Anggota DPR-RI, Budiman Sudjatmiko, berbagi cerita seputar bukunya Anak-Anak Revolusi di Obrolan Langsat.
Petani sebagai pemegang saham mayoritas bangsa tidak terwakili dalam sistem politik Indonesia....
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
© 2023 Budiman Sudjatmiko • kontak / privacy policy / terms |