Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko
"Kerja jauh dari usai, dan pengharapan selalu lebih panjang dari nafas..."

Bergabung


Berlangganan Newsletter

Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:

Pembangunan "Yang Menyingkirkan"
30 Nov -0001
Kemerdekaan sejatinya adalah berhentinya eksploitasi kembalinya hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alam/agraria bagi kesejahteraan seluruh anak bangsa...

Arah Pembangunan Kita, Mundur dari Titik Nol

Ketika VOC mulai menjajah Nusantara, sistem ekonomi kita dibangun dengan orientasi ekspor bahan mentah dalam hal ini adalah rempah-rempah. Inggris  menambahkannya dengan impor produk olahan dan menyusun suatu kebijakan baru dalam hukum agraria yaitu dengan sistem sewa tanah yang kita kenal dengan landrente (pajak tanah), sistem yang sebelumnya tak dikenal dalam masyarakat pra kolonial. Masyarakat pra kolonial menunjukkan kepatuhan kepada penguasa dengan memberikan hasil produksi pangan bukan dengan pembayaran sewa tanah. Selanjutnya penjajahan Hindia Belanda (1830-1870), menunjukkan pemerasannya dengan membuat kebijakan tanam paksa yang lagi-lagi sesungguhnya diorientasikan untuk pemenuhan eksport. Tahun 1870, merupakan tonggak baru bagi kolonialisme Belanda sebab ketika itu tuntutan kaum liberal Belanda untuk ikut mengambil ‘untung’ dari tanah jajahan dibuka melalui Agrarische Wet, koeli ordonnantie (1880), dan juga Ontginnings-ordonantie (1874). Maka dibukalah perkebunan-perkebunan swasta untuk memenuhi orientasi eksport bahan mentah. Pada periode itu pula lah eksploitasi migas juga dimulai. Semua berlangsung hingga kedatangan ‘saudara dari timur, Jepang 1930-an. Periode Jepang yang singkat ini terasa memeras bagi seluruh negeri, semua  untuk penyediaan kebutuhan pangan bagi perang.

Kenapa kita perlu mereview cerita kolonialisme di atas, sesungguhnya dimaksudkan untuk melihat, apakah benar-benar kita telah melangkah pada makna kemerdekaan sesungguhnya sebagaimana Bung Karno menyebutnya dengan ‘jembatan emas’ ataukah mundur ke belakang dalam bentuk-bentuk baru? Kita hanya bisa mengenalinya melalui orientasi ekonomi bangsa ini dan sistem hukum yang menjadi penopangnya.

Kemerdekaan sejatinya dimaksudkan untuk menghentikan sistem ekonomi feodal dan sistem ekonomi kolonial. Kemerdekaan sejatinya adalah berhentinya eksploitasi kembalinya hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alam/agraria bagi kesejahteraan seluruh anak bangsa. Selama 15 tahun kemudian disusunlah suatu UU yang dimaksudkan untuk menjalankan amanat pembukaan dasar 1945 :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

UU itu adalah UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disingkat UUPA. Pada pokoknya UUPA dimaksudkan untuk mengakhiri dua sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi feodalistik dan sistem ekonomi kolonial yang merugikan rakyat.

Tak berlangsung lama, setelah berulang kali usaha untuk mengambilalih kembali negeri dalam kekuasaan kolonial gagal melalui agresi Belanda I dan II, akhirnya kekuatan asing berhasil merebutnya kebali, kali ini dengan cara kudeta kekuasaan Soekarno. Kita memasuki fase panjang Orde Baru 1966 hingga 1998. Bentuknya dengan Utang melalui LoI (Tokyo 1966), modal langsung, modal tak langsung, jenis sumber daya yang dikuras adalah migas dan mineral, agraria dalam bentuk perkebunan, pertambangan, dan hutan untuk kepentingan eksport bahan mentah, serta UU yang memuluskannya adalah UU Penanaman Modal Asing (UU No 1 Tahun 1967) dan UU No 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan.        

Sayangnya perubahan politik 1998 yang dulu kita perjuangkan gagal meluruskan tujuan-tujuan terbentuknya pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.Kita lihat bahwa pasca Orde Baru ini tetap menopangkan diri pada utang melalui LoI 1997 yang ditandatangani oleh Soeharto di episode terakhir kekuasaannya, modal langsung, dan modal tidak langusng. Orientasi ekonomi kita masih ekspor bahan mentah, ditambah dengan menguatnya impor bukan hanya produk olahan yang diimpor, bahkan juga impor bahan pangan. Nyaris semua kebutuhan pokok adalah impor, beras, terigu, garam, buah, dan lain-lain. Sebuah ironi negeri agraris. Eksploitasi migas dan mineral melalui UU No. 22 tahun 2001 migas, listrik melalui UU No 20 Tahun 2002 listrik, kehutanan UU No. 19 tahun 2004 Kehutanan, dll.

Hebatnya, pemerintahan SBY justru melahirkan suatu UU baru yang memuluskan ekspansi modal asing yaitu UU No 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang secara prinsipil membuka masuknya modal asing 100% melalui asas perlakuan yang sama (equal treatment) antara modal asing (orang asing, badan hukum asing) dengan negara RI, badan hukum Indonesia, dan perseorangan Indonesia, dan nyaris saja memberikan hak guna usaha (HGU) 95 tahun dengan pemberian HGU 60 tahun sekaligus dan 35 tahun perpanjangan, hak pakai 70 tahun, dan hak guna bangunan (HGB) 60 tahun.

Apa maksud pasal ini? Tidakkah itu bahkan melebihi hak erpacht pada Agrarische wet 1870 yang  memberikan hak selama 75 tahun. Pasal ini pun akhirnya digugurkan dalam judicial review di MK. Namun demikian problemnya belum selesai, sebab asas equal treatment masih berlangsung dengan dikuatkan oleh PP 77 tahun 2007 yang membuka nyaris seluruh sektor kehidupan rakyat untuk modal asing termasuk pendidikan. Padalah semestinya pendidikan bukanlah sektor usaha, melainkan sebagai sistem ideologi bangsa untuk menanamkan karakter kebangsaan yang kuat (national building). UU ini dilengkapi dengan kebijakan FTZ (free trade zone), di mana pintu pasar-pasar bebas dibuka. Hanya butuh satu pintu untuk masuk menerobos seluruh ke seluruh pasar di wilayah Indonesia, dan FTZ telah membukanya. UU No 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan kebijakan FTZ ini melengkapi sejumlah UU lain yang mengeksploitasi sumber daya alam/agraria kita, sekaligus melengkapi orientasi sebagai pasar bagi impor produk-produk olahan dan pangan dari luar negeri.

Apa ini artinya ? Artinya selama 1200 tahun nusantara yang berjaya, runtuh oleh 350 tahun kolonialisme bangsa-bangsa Eropa (Belanda, Inggris, Portugis), dan kini 66 tahun kemerdekaan, perjalanan bangsa ini malah mundur dari titik nol, sebab orientasi ekonomi kita tetap tidak berubah secara mendasar, kita masih berorientasi ekspor produk mentah, serta menempatkan diri kita sebagai pasar sangat besar bagi impor produk olahan dan diperparah dengan impor pangan.

Apa akibatnya? Akibatnya adalah, ketimpangan yang sangat besar dalam penguasaan sumber daya alam dan agraria dan tentu saja kemiskinan yang luar biasa. Data BPN menyatakan bahwa hanya 0,2% dari penduduk negeri ini (>250 juta) menguasai 56% aset nasional, dan konsentrasi aset ini 87%-nya adalah dalam bentuk tanah. Bisa dibayangkan ini ketimpangan yang sungguh-sungguh luar biasa. Sudah pasti eksesnya adalah kemiskinan dan konflik perebutan sumber daya alam/agraria yang banyak. Kita sehari-hari ini sudah melihatnya dalam tayangan televisi tentang konflik Freeport, dan beribu kasus lain yang tak selalu termuat media massa kita.

Jadi yang merupakan pokok hal terpenting bagi kita semua sekarang adalah menanyakan ulang: kemana arah bangsa ini sesungguhnya?

Konteks

Dalam buku The Theory of Access, Nancy Lee Peluso,- mengatakan bahwa akses adalah kemampuan untuk mendapatkan keuntungan (benefit) dari resources dengan cara menguasai resouces langsung, menguasai orang dan institusi. Pertanyaan dasarnya adalah, ketika akses didapatkan, apakah di sisi mata uang lainnya, ada yang tersingkir dari askes tersebut (exclusion).

Bahkan Bank Dunia pun menyadari kekeliruannya setelah 25 tahun menyingkirkan pertanian sebagai sektor penting, kini menyadari bahwa justru pertanianlah yang sesungguhnya menyelamatkan banyak orang. Sungguh sebuah kesadaran yang terlambat sebab Bung Karno sejak tahun 1954 pun telah berpidato, pada peletakan batu pertama kampus IPB, bahwa pangan adalah politik, siapa menguasai pangan, ia menguasai orang banyak !

Yang terjadi selama kita bersama dengan Bank Dunia adalah individualisasi penguasaan pertanian melalui pembagian persil-persil tanah dengan sertifikat itu. Individualisasi ini mempercepat peralihan tanah vertikal (akumulasi ke tangan yang lebih besar).

Sementara itu Tania Li  dalam Power of Exclusion : Land Dilemmas in Southeast Asia, 2011, menyatakan ada 4 kekuatan besar yang telah menyingkirkan rakyat dari aksesnya terhadap lahan yaiitu : regulasi, kekuasaan dan kekerasan, pasar, serta legitimasi. Hal-hal di atas menyebabkan tersingkirnya para petani kita dari aksesnya terhadap lahan.

Tak cukup dengan itu, penyingkiran juga terjadi terhadap akses mereka (petani/nelayan: produsen pangan kita) terhadap surplus yang mereka hasilkan. Hasil pangan petani/nelayan kita lari ke pengumpul, lalu ke pedagang dan selanjutnya kepada eksportir, dengan menyingkirkan benefit atas harga yang tidak dapat dinikmati produsen pangan kita. Akumulasi surplusnya diakumulasi secara vertikal ke kelas di atasnya. Anda bisa bayangkan bagaimana sebuah negara Singapura bisa menjadi produsen pangan, padahal tak ada lahan pertaniannya, sementara negara kita, Indonesia, yang memiliki jutaan petani justru menjadi negara pengimpor beras dan bahan pangan lainnya. Jika impor menguat, maka secara ironis produsen kita tertimpa tangga 2 kali. Begitulah yang terjadi dalam sistem ekonomi pangan kita.

Lalu di mana letak pembicaraan kita mengenai RU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan ? Saya mengkhawatirkan bahwa RUU ini pun akan menyingkirkan rakyat dari aksesnya terhadap tanah. Nyaris sudah dapat dipastikan. Orientasi pembangunan infrastruktur kita khan bukan pada misalnya pembangunan jalan-jalan pedesaan sehingga memudahkan akses petani pada pasar langsung sehingga memotong rantai pengumpul yang mengambil benefit atas surplus value dari petani kita.

Saya tidak menolak pembangunan infrastruktur. Itu penting. Namun pembangunan infrastruktur mesti diorientasikan pada kepentingan umum yang implikasinya adalah memudahkan akses yang lemah untuk mempertahankan akses surplus value yang mereka miliki. Pembangunan itu juga semestinya tidak serta merta menghilangkan akses orang/rakyat pada tanah yang sebelumnya mereka miliki, lalu menggantinya dengan sejumlah uang dan tidak bertanggungjawab atas kelangsungan kualitas hidup rakyat pasca pengambilalihan tanah mereka.

Saya ingin mereview kronologi RUU ini agar kita memiliki gambaran mengenai konteksnya :
Pasca terpilihnya SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden, agenda yang mula-mula diselenggarakan adalah ‘National Summit.’ Pada 29- 30 Oktober 2009 pemerintah menggelar “National Summit”  yang menegaskan perlunya pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan listrik. Forum tersebut ingin memastikan pelaksanaan atas program dan bukan daftar program baru. Hal ini disebabkan selama 5 tahun masa pemerintahan SBY jilid I rencana pembangunan infrastruktur tidak memenuhi target. Sebagaimana kita ingat bahwa sebelumnya pada 26 November 2006 diselenggarakan infrastructure summit, yang salah satu agendanya adalah percepatan pembangunan infrastruktur. 

Salah satu prasyarat bagi percepatan pembangunan infrastruktur adalah ada perangkat perundang-undangan yang mempermudah dilakukannya akuisisi lahan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Satu-satunya perangkat hukum bagi akuisisi lahan adalah Keppres No 55 Tahun 1993 yang merupakan produk Orde Baru. Tentu saja keppres ini dianggap tidak lagi sesuai pada masa Reformasi, bukan hanya secara substansial melainkan juga trauma mendalam akibat praktek-praktek pengambilalihan lahan pada masa Orde Baru yang dilakukan dengan cara-cara represif. Oleh karenanya pemerintah SBY jilid I menyusun suatu peraturan baru yaitu Perpres No 36 tahun 2005 yang memberikan landasan bagi program pengambilalihan lahan rakyat. Dalam perjalanannya perpres tersebut ditolak rakyat dengan gelombang aksi besar-besaran. Perpres kemudian diubah menjadi Perpres No 65 Tahun 2006 yang sesungguhnya tidak jauh berbeda substansinya dengan Perpres No 36 Tahun 2005, atau boleh dikata sebagai upaya meredam gejolak saja. Tentu saja perangkat hukum setingkat Perpres tidak akan memberikan legitimasi yang kuat bagi upaya pengambilalihan lahan bagi kepentingan pembangunan infrastruktur.

Pada Selasa, 25 Januari 2011 DPR menyelenggarakan Paripurna DPR yang salah satu agendanya adalah pembentukan PANSUS RUU Pengadaaan Lahan Untuk Kepentingan Pembangunan. RUU Pengadaaan Lahan telah diusulkan sejak penyusunan Prolegnas 2010 pada Desember 2009 lalu. Namun DPR menyangsikan pemerintah mengakomodasi kepentingan rakyat, sehingga RUU tersebut diminta menjadi RUU inisiatif DPR. Hingga akhir Prolegnas RUU Pengadaan Lahan tersebut tidak segera dibahas oleh DPR, dan akhirnya pada Prolegnas 2011 ini RUU tersebut kembali diajukan oleh pemerintah sebagai inisiatif pemerintah untuk dibahas tahun ini. Saat ini pembahasan RUU ini telah sampai pada pembahasan DIM, daftar inventarisasi masalah, artinya pasal per pasal mulai dibahas bersama DPR dan pemerintah.

Jika kita bersama melihat konteks ini, maka yang sesungguhnya terlihat bukanlah itikad baik untuk menyelenggarakan pembangunan infrastruktur untuk mempermudah para produsen kita (petani/nelayan) dan rakyat kecil pada umumnya untuk mengakses pembangunan, melainkan menyelenggarakan infrastruktur untuk mempermudah jalur eksploitasi sumber daya alam/agraria dan mempercepat distribusi barang impor masuk. Kita akan melihatnya dalam pasal 13 RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan tentang jenis-jenis kepentingan umum yang sesungguhnya menyimpan kepentingan komersial, misalnya: jalan tol, Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas, dan panas bumi; Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; Jaringan telekomunikasi dan informatika; Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah; (di belakangnya ada kepentingan pembangunan apartemen-apartemen mewah, melengkapi UU Perumahan dan Permukiman dan RUU Rumah Susun_red).

Ancaman: Hilangnya Akses Rakyat

Selanjutnya perlu kita menengok mengenai beberapa hal pokok yang menjadi masalah substansial dalam RUU ini di antaranya adalah :

  1. Mengenai kepentingan umum
  2. Keadilan dan jaminan kepastian hukum
  3. Kompensasi
  4. Mekanisme perlawanan hak

Yang pertama adalah soal kepentingan pembangunan. RUU ini mendefinisikan kepentingan pembangunan mewakili dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta, pasal 4 RUU. Suatu definisi yang janggal sesungguhnya. Kepentingan umum mewakili public purposes, sementara usaha swasta mewakili private purposes. Bagaimana mungkin private purposes (baca: usaha swasta) diberikan kemudahan sebagaimana kepentingan umum ?
Kedua, mari kita melihat rincian kepentingan umum yang dimaksud dalam RUU ini. Rincian kepentingan umum dalam pasal 13 RUU ini adalah sbb :

  1. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
  2. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
  3. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  4. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas, dan panas bumi;
  5. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
  6. Jaringan telekomunikasi dan informatika;
  7. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  8. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
  9. Pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
  10. Fasilitas keselamatan umum;
  11. Cagar alam dan cagar budaya;
  12. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa
  13. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah;
  14. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
  15. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan
  16. Pembangunan kepentingan umum lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Dari definisi tersebut jika kita periksa sebagiannya adalah kepentingan umum yang sudah diprivatisasi, jalan tol misalnya. Demikian juga mengenai penataan pemukiman dan konsolidasi tanah terutama untuk pembangunan perumahan, bukankah kini dengan UU Tentang Perumahan dan permukiman, penyediaan perumahan juga sudah dikomersialisasi?

Berikutnya adalah soal mekanisme pelepasan hak. Jangka waktu untuk melakukan konsultasi public atas perencaan pengadaaan tanah (baca: pengambilalihan tanah) ssangat pendek, paling lama 2 bulan dengan perpanjangan konsultasi 1 bulan dan dengan pemeriksaan tim kajian atas keberatan pengadaan tanah yang hanya maksimal 7 hari. Artinya, hanya 3 bulan 7 hari, rakyat punya waktu menyampaikan keberatannya. Sementara itu domain kekuasaan atas penetapan perencanaan tersebut tetap berada dalam domain Menteri atau Gubernur.

Berikutnya mengenai ganti kerugian. RUU ini tidak menyebutkan benda-benda yang termasuk dalam kategori objek ganti rugi, terkesan objek ganti kerugian hanya berupa tanah. RUU ini jauh lebih mundur dari Keppres No 55 tahun 1993 maupun Perpres No 65 tahun 2006 yang menyebut bahwa objek ganti rugi tak hanya tanah melainkan juga bangunan, tanaman, dan hal-hal yang terikat dengan tanah. Apalagi soal ganti kerugian sosial akibat kehilangan akses sosial di tempat semula, tentu saja tak mendapat tempat dalam RUU ini.

RUU ini juga tidak memberikan tempat bagi usaha perlawanan hak. Satu-satunya persoalan adalah ganti kerugian yang apabila tidak disepakati maka pengadilan negeri memutus dalam waktu 30 hari, sebagai pengadilan tinkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat, sebagaimana pasal 42 RUU. Sama saja perlawanan hak yang objek sengketanya adalah hak atas tanah, dianggap persoalan pelanggaran kecil atau jangan-jangan dianggap perkara tipiring biasa dan sederhana ?

Selanjutnya hal yang seharusnya dilihat secara serius adalah konsekwensi dari RUU ini terhadap hilangnya akses rakyat terhadap tanah yang dikuasainya.  Pembangunan yang mengambilalih hak rakyat atas tanahnya (resources) seringkali dianggap selesai dengan jawaban : ganti rugi. Kata ganti rugi sendiri sesungguhnya berasal dari ‘sindiran’ rakyat di era Orde Baru karena setiap pengambilalihan tanah selalu menyebabkan kerugian bagi rakyat yang diambil tanahnya. Kerugian itu secara pokok disebabkan hilangnya akses rakyat dari tanah yang dipunyainya dan ganti rugi yang tidak layak sehingga kualitas hidup rakyat pasca pengambilan tanah semakin buruk.

Negara juga seringkali melupakan bahwa hak atas property (property right), bukanlah sekedar pengakuan kepada hubungan subjek pemilik dengan objek kebendaannya (property), melainkan terikat di dalamnya hubungan sosial berupa keterikatan landscape sosial: kebudayaan, mata pencaharian, lingkungan sosial, dan lain-lain. Ketidakmengertian ini menyebabkan kompensasi/ganti kerugian hanya dihitung dari ukuran nilai objek (lahan/tanah) semata. Kompensasi atas atas kehilangan ikatan landspace sosial tidak turut dihitung.

Kekhawatiran itulah yang menyebabkan Fraksi PDI Perjuangan mengusulkan bahwa aspek ganti rugi jangan sampai menjadi proses exclusion (penyingkiran) rakyat pada akses atas tanah yang dimilikinya. Kami menyadari bahwa pertama : hak atas tanah yang menjadi landasan pengambilalihan tanah berasal dari karakteristik hak atas tanah yang plural di Indonesia. Sebagai negara multietnis, kita mengenal hukum adat (hak ulayat) yang salah satunya mengatur mengenai hak atas tanah ulayat. Bahkan UUPA pun menyadari keberadaan hak ulayat, mengakui hak tersebut dan meletakkanya sebagai dasar-dasar bagi penataan hukum agraria nasional. Ulayat memiliki karakteristik yang unik sebab ulayat mengedepankan penguasaan komunal bukan sekedar penguasaan individual.

Kedua, kami mengasumsikan bahwa jenis-jenis kepentingan umum (maupun kepentingan pembangunan lainya) mengandung unsur komersial di belakangnya. Jelas tidak adil ketika orientasi pada benefit (keuntungan) dari pembangunan itu hanya dirasakan oleh pelaku penyelenggara pembangunan dengan sisi lain menyingkirkan rakyat dari akses miliknya. Semestinya rakyat yang ‘dulu’ menguasai tanah tersebut, dengan pembangunan, mereka masih dapat mendapatkan benefit atas pembangunan di atas tanah mereka. Usulan FPDI-Perjuangan adalah memberikan bentuk-bentuk ganti kerugian yang tetap memberikan akses benefit pada rakyat pasca diambilalih tanahnya, dengan bentuk ganti kerugian yang disesuaikan dengan karakteristik jenis proyek pembangunannya. Contohnya, pembangunan jalan tol, diganti rugi dengan berbagai opsi: uang, tanah pengganti, permukiman kembali, sewa (pemerintah menyewa pada rakyat dengan demikian rakyat mendapatkan hasil sewa reguler), bagi untung, saham; ketentuan ini dapat berlaku akumulatif bagi rakyat yang diambil alih. Dengan ini kami berharap bahwa pembangunan tidak selalu merupakan penyingkiran rakyat pada akses atas benefit terhadap tanah.

 

(disampaikan di acara Diskusi "Mencari Solusi Permasalahan Pertanahan, Mempercepat Pembangunan Nasional”, 18 Oktober 2011, Universitas Paramadina)

Print Friendly and PDF

VC Budiman Sudjatmiko : Kerja Belum Selesai

Beberapa hari lalu, saya mendapat ucapan ”selamat” atas rencana pelantikan sebagai anggota DPR dari konstituen, para petani Banyumas dan Cilacap...

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.

Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.