Dapatkan update newsletter dari budimansudjatmiko.net:
Indonesia ialah satu republik yang pemimpinnya tahu apa yang semestinya mereka raih. Sayangnya banyak di antara mereka diayun kebimbangan diri untuk menuntaskan pekerjaannya, ketika dalam mengupayakannya bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan sesaat sebagai pribadi dan golongan. Artinya, ada sebagian pemimpin yang tidak sanggup ketika dituntut untuk lebih banyak berkorban demi mencapai tujuan besar bangsanya. Karena itu, bangsa ini sering berhasil menyusun konsep-konsep dan dokumen-dokumen perencanaan yang bagus, namun sering gagal dalam melaksanakannya, sesering dan sebanyak dokumen bagus yang dihasilkannya. Akibatnya rakyat kita sekarang lebih suka membunuh harapan-harapannya sendiri, bahkan sebelum harapan-harapan tersebut sempat dilahirkan.
Jika pun harapan-harapan itu coba tetap dimunculkan, kita sering kesulitan membedakannya dengan ilusi-ilusi. Di republik ini, optimisme yang sehat sejatinya sedang terancam dari kedua sisi: sikap patah arang dan masa bodoh di satu sisi serta halusinasi yang menipu di sisi lain.
Kenyataan tersebut menyuruh kita bercermin, agar kita tidak berhalusinasi dengan eloknya gagasan-gagasan utopis semata. Karena itu saat kita berbicara mengenai platform dan jalan yang harus dilintasi Indonesia dalam merestorasi dirinya, maka kita tidak boleh melupakan bahwa Restorasi Indonesia ialah jalan berliku-ganda yang harus melintas di atas konstruksi pengetahuan yang teliti dan konsisten (konseptual), berpegang pada prinsip-prinsip dasar dan komitmen kejuangan (integritas), memiliki wawasan ke depan (visioner), realistis untuk diterapkan (aplikatif) dan mampu menjawab tantangan realitas kekinian masyarakat (aktual).
A. Wajah Bumi Pertiwi Hari Ini
Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih.
Pramoedya Ananta Toer dalam novel “Arus Balik”
Pramoedya Ananta Toer, dalam novel “Arus Balik”, mengisahkan kepada kita hal ihwal di balik kedatangan bangsa Eropa di Bumi Pertiwi. Sastrawan revolusioner ini mengisahkan berbaliknya arus peradaban dari “selatan ke utara” menjadi dari “utara ke selatan” [1]. Kegagalan dalam mengatur kekuatan diri dan menata elemen-elemen bangsa akhirnya harus dibayar dengan kemunduran peradaban. Menyita waktu kita beratus-ratus tahun untuk bisa menebusnya kembali.
Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sejatinya telah memberikan bangsa ini sebuah kesempatan besar untuk menebus kealfaan di masa lalu. Sebagaimana Bung Karno telah beritahukan, proklamasi kemerdekaan itu telah membentangkan sebuah jembatan emas untuk kita seberangi [2]. Di seberang jembatan inilah kita diberikan keleluasaan untuk mengatur kekuatan diri dan menata elemen-elemen peradaban negara atau Noto-Negoro (mengatur dan menata Negara).
Sebelum kita putuskan untuk menuntaskan penyeberangan melintasi jembatan emas ini, ijinkan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris berikut:
Apakah hari ini kita telah mengatur dan menata elemen peradaban negara? Saya mau tekankan di sini, Noto-Negoro bukan cuma mau berbicara tentang kerja menata aspek politik semata. Ia pun bersifat komprehensif memayungi segi-segi ekonomi dan budaya.
Kita ingat bahwa Bung Karno telah mewariskan landasan Trisakti [3], yaitu “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan”, sebagai sebuah kompas dan tolok ukur tujuan berbangsa. Karenanya Trisakti dapat digunakan sebagai perspektif untuk merefleksikan pertanyaan tersebut.
Apakah bangsa ini telah berdaulat dalam politik? Beberapa fakta di bawah ini sudah lama mengusik kita sebagai bangsa. Dua belas tahun yang lalu, Presiden Soeharto membungkuk dan menandatangani nota kesepakatan terhadap IMF di bawah Michel Camdessus [4], yang sedang melipat tangan seperti seorang guru yang sedang menunggui muridnya untuk cepat-cepat menyetorkan pekerjaan rumahnya yang terlambat.
Hari ini, pemerintah kembali berhutang melalui skema perdagangan karbon dengan menjual hutan Indonesia [5,6] dalam konferensi PBB di Kopenhagen. Perjanjian lintas udara Indonesia-Singapura telah mencederai kedaulatan Indonesia di udara [7]. Kementrian Kelautan dan Perikanan menyebutkan kerugian negara 30 triliun setiap tahun akibat illegal fishing [8]. Kemandulan diplomasi internasional membuat para buronan koruptor terus nyaman bersembunyi di negara tetangga [9]. Kita belum berdaulat dalam bidang politik.
Apakah bangsa ini telah berdikari dalam ekonomi? Produksi minyak nasional sekarang didominasi oleh korporasi asing [10]. Kita juga tidak berdaya mengatur pasokan gas dalam negeri karena ladang gas dikuasai asing [11]. Data yang ada menujukkan fakta 67% kepemilikan saham dikuasai oleh investor asing [12]. Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN-China menimbulkan kepanikan yang begitu besar di sektor riil, seperti yang terjadi pada bidang manufaktur, tekstil dan industri farmasi [13-15]. Perusahaan sawit dari luar negeri terus menginvasi sektor perkebunan kita, bahkan telah menembus angka 2 juta hektar lahan [16]. Kenyataan keras kepala ini menunjukkan sejatinya kita belum berdikari dalam ekonomi.
Apakah bangsa ini telah berkepribadian dalam kebudayaan? Hampir enam puluh lima tahun setelah merdeka, kita belum pernah berhasil menginventarisir kekayaan budaya yang ada di Indonesia [17]. Negara tetangga secara periodik mengklaim banyak aspek kekayaan budaya tradisi Indonesia [18]. Angkatan muda kian tercerabut dari nilai tradisi dan akar sejarahnya, yang pada akhirnya melahirkan mentalitas bangsa terjajah (inlander) [19].
Para pengambil keputusan pun terus membuat kebijakan publik tanpa mempertimbangkan karakteristik sosial-ekologis-geografis Nusantara, sehingga terjadi krisis sosial-ekologis [20]. Kaum intelektual terus mengimpor mentah-mentah pengetahuan dari utara untuk menyelesaikan permasalahan bangsa [21], tanpa menyesuaikannya dengan karakteristik Indonesia sebagai sebuah negeri kepulauan. Kuantitas penelitian ilmiah yang bertaraf internasional berada pada taraf yang begitu rendah [22]. Peneliti-peneliti potensial terus bermigrasi ke luar negeri [23]. Kita menjadi semakin tidak berkepribadian dalam kebudayaan dan kehilangan pandu-pandu terbaiknya untuk menjaga Ibu Pertiwi.
Tentu saja, ada beberapa kemajuan yang telah dicapai, khususnya dalam 12 tahun terakhir. Namun, fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa sejatinya panji-panji Trisakti belum berkibar di Bumi Pertiwi. Arus peradaban masih menginvasi dari “utara ke selatan”, dan “selatan” nyaris hanya tinggal menerima.
B. 6 Tonggak Penanda Kebangkitan: Budaya Sebagai Panglima
Mengapa peradaban dunia sampai hari ini masih didominasi oleh bangsa-bangsa di belahan utara khatulistiwa? Jawaban kita atas gugatan ini mengusung makna yang sangat penting dalam merumuskan platform dan jalan restorasi Indonesia. Uraian ini selanjutnya dikaji secara kritis, sesuai dengan karakteristik Indonesia, sebagai sebuah nusantara (negeri kepulauan).
Adalah kodrat manusia untuk membandingkan agar kita beroleh terang kebijaksanaan yang reflektif sekaligus inspiratif. Mari kita buat perbandingan. Sekelumit tinjauan sejarah atas perkembangan Eropa berikut barangkali akan selintas menolong kita mengenali faktor-faktor berdominasinya ‘utara’ atas ‘selatan’.
Kebudayaan Eropa adalah mata air yang mengaliri sungai-sungai peradaban negara-negara di belahan utara. Memang pada awalnya runtuhnya kemaharajaan Romawi telah menggelontorkan mereka secara beramai-ramai dalam era kegelapan. Namun mereka memutuskan untuk bangkit dari kejatuhan dan beranjak memutar balik arus tersebut. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Sastrawan Inggris bernama John Heywood (1497-1580) pernah berkata berkata "Rome wasn"t built in a day", maka begitu juga dengan peta jalan kebangkitan Eropa. Kearifan sejarah mengajari kita bahwa kejayaan peradaban utara hari ini merupakan anak-anak yang terlahir dari rangkaian kerja cerdas (smart works) di sepanjang proses panjang yang berlangsung di Eropa selama lebih dari 8 abad [25-27]. Proses 8 abad yang bisa kita bagi menjadi 6 tonggak penanda sejarah [24].
Tonggak penanda pertama adalah kesadaran akan pentingnya penggalian kembali tradisi yang berkembang di Yunani, Arab dan Romawi dengan mengalihbahasakan naskah-naskah kuno yang ada di masa sebelumnya. Ia dikenal sebagai proses revitalisasi budaya. Upaya ini terlihat dengan kebangkitan kembali (revival) sastra, puisi, drama, bahasa serta asas hukum Yunani dan Romawi kuno [25]. Proses, yang berlangsung pada abad 11-13, menandai tonggak awal kebangkitan peradaban Eropa dari masa kegelapan.
Tonggak penanda ke dua adalah kesadaran untuk merestrukturisasi institusi pendidikan dalam upaya melakukan lompatan jauh transformasif dalam masyarakat [25]. Semangat ini terlihat dengan kemunculan gugusan universitas di Eropa, dari abad ke-11 hingga abad ke-13, seperti Universitas Bologna di Italia, Universitas Sorbonne di Prancis, Universitas Oxford dan Universitas Cambridge di Inggris, Universitas Salamanca di Spanyol dan lain sebagainya. Hint lucem et pocula sacra (yang tafsiran bebasnya kira-kira ialah: dari tempat ini, kita beroleh pencerahan dan pengetahuan berharga, seperti yang tercantum sebagai motto Universitas Cambridge), adalah semangat yang mulai tumbuh di era ini.
Proses revitalisasi kebudayaan dan restrukturisasi pendidikan mau tak mau akan bermuara pada tonggak penanda ke tiga kebangkitan Eropa yang disebut renesans. Ia adalah sebuah fase peralihan dari era kegelapan menuju abad modern, yang ditandai dengan perhatian kembali kesusastraan klasik, berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, serta mulai dibangunnya dasar-dasar ilmu pengetahuan modern [25,26]. Seniman Eropa tidak lagi semata-mata berupaya menggali nilai-nilai yang tersimpan dalam peradaban Yunani, Arab dan Romawi, namun menumbuhkan konsep-konsep seni yang baru. Ia terjadi melalui sentuhan para jenius keindahan seperti Michelangelo Buonarroti, Leonardo da Vinci, Raffaello Santi dan lain sebagainya. Era ini berlangsung dari abad 14-16.
Renesans menginspirasi cara pandang manusia Eropa di era fajar pencerahan akal budi. Seorang seniman dan ilmuwan, seperti Leonardo da Vinci, melakukan observasi dengan tidak lagi terjebak dalam sebuah penemuan spesifik, melainkan mulai menyadari pentingnya proses dalam penemuan [25,26]. Bukan cuma tentang apa yang dihasilkan, melainkan bagaimana berharganya jalan menuju penemuan itu.
Terang semangat ini menginspirasi kaum cendekia Eropa dalam mengurai fenomena alam. Lahir metode ilmiah serta kesadaran akan pentingnya fakta empiris dan matematika dalam upaya untuk menjelaskan fenomena alam. Transformasi ilmiah yang terjadi pada abad 16-17 berlangsung melalui sentuhan ilmuwan Polandia bernama Mikolaj Kopernik (yang lebih dikenal dengan nama versi Latin-nya Nicolas Copernicus), Andreas Vesalius, Galileo Galilei, Christiaan Huygens, Johannes Kepler, Blaise Pascal, dan Isaac Newton. Ia merupakan tonggak penanda keempat kebangkitan Eropa yang dikenal sebagai revolusi ilmu pengetahuan/sains atau revolusi Copernican.
Titik tonggak kelima adalah penataan kembali sistem politik dan kebijakan publik. Revolusi ilmu pengetahuan tidak hanya mengubah perspektif manusia terhadap alam, tetapi juga dalam memandang pranata-pranata sosial. Copernicus memberikan inspirasi akan perlawanannya terhadap dogma umum yang berlaku ketika itu. Lahirlah konsep "kebebasan berpikir" dan "kebebasan berpendapat".
John Locke dari Kolese Christ Church-Universitas Oxford meletakkan prinsip dasar kepemilikan individu. Charles de Montesquieu membangun konsep trias-politika. Adam Smith dari Skotlandia meletakkan dasar-dasar doktrin ekonomi pasar bebas dan kompetisi. Inspirasi ini kemudian diikuti oleh George Wahington, Benjamin Franklin, Voltaire dan Thomas Jefferson. Pemikiran tersebut pada akhirnya mendorong terjadinya rangkaian revolusi 1688 di Inggris, revolusi Amerika tahun 1776 dan revolusi Perancis tahun 1789. Gelombang pasang revolusi ini berlangsung dari abad ke-17 hingga abad ke-18 [25].
Penguasaan ras manusia atas ilmu pengetahuan telah meningkatkan kemampuan untuk rekayasa lingkungan. Penemuan mesin uap oleh James Watt telah menghasilkan transformasi sosial dan ekonomi [27] melalui diciptakannya kapal uap, kereta, mobil, dan generator listrik, yang pada akhirnya mendorong peningkatan kapasitas produksi secara dramatis. Penataan kembali sistem politik, yang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi kekuatan ekonomi di luar kerajaan atau negara (sektor swasta), berperan serta dalam mempercepat proses tersebut. Proses transformasi sosial dan ekonomi, yang berlangsung pada abad 18-19, menjadi tonggak penanda keenam kebangkitan Eropa.
Gambar 1
Kronologi 6 tonggak penanda kebangkitan Eropa (kiri) [24] dan eleborasi pada cakram kebangkitan Indonesia (kanan), yang merupakan pengembangan dari konsep Trisaksi Bung Karno.
Tinjauan historis di atas, seperti terlihat pada gambar 1, menunjukkan bawa sejatinya kebangkitan Eropa adalah proses yang panjang dan berliku-ganda. Jika diringkas, kita akan mengenali 6 tonggak penanda utama dalam proses kebangkitan di atas sebagai proses revitalisasi budaya, restrukturisasi institusi pendidikan, kebangkitan kebudayaan baru (renesans), revolusi sains, restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik, serta transformasi sosial dan ekonomi. Apakah 6 unsur ini juga ditemukan dalam proses kebangkitan Amerika Serikat, Rusia dan Jepang [28-33], sebagai 3 peradaban besar di belahan bumi utara lainnya?
Tabel 1
6 titik tonggak kebangkitan Eropa, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang [25-33].
Titik Tonggak |
Eropa |
Amerika Serikat |
Rusia |
Jepang |
Revitalisasi Budaya
|
(abad 11-13) kesadaran akan pentingnya penggalian kembali tradisi yang berkembang di Yunani, Arab dan Romawi |
(1800) berdirinya Library of Congress, sebuah institusi revitalisasi budaya tertua dan terbesar di AS yang berada di bawah kendali langsung kongres AS |
(1764) berdirinya State Hermitage, salah satu museum tertua, terbesar dan termegah di dunia |
(1869) Restorasi Meiji: sintesa budaya tradisi dan rasionalitas Barat menjadi dasar peradaban baru, sebelumnya Jepang telah memiliki tradisi pencatatan yang baik, namun masih bersifat tradisional |
Restrukturisasi Institusi Pendidikan
|
(abad 11-13) Berdirinya Universitas Bologna, Universitas Sorbonne, Universitas Oxford, Universitas Cambridge, Universitas Salamanca |
(1767-1780) Berdirinya Universitas Pennsylvania, The College of William and Mary, Universitas Harvard dan Universitas Columbia |
(1755-1803) Berdirinya Universitas Negara Moskwa dan Universitas Negara Saint Petersburg |
(1877) Berdirinya Universitas Tokyo |
Kebangkitan Kebudayaan Baru (Renesans)
|
(abad 14-17) berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, serta mulai dibangunnya dasar-dasar ilmu pengetahuan modern |
(1850an-1910) puisi post-kolonial, aliran photo-secession, dan gerakan renesans Harlem |
(1870) peredvizhniki: sejumlah seniman Rusia menolak kekangan bagi seniman, gerakan ini memicu perkembangan aliran lukis realis Rusia |
(1880an) Berkembang kesenian “manga” di Jepang dan pendefenisian karakteristik seni rupa Jepang |
Revolusi Sains
|
(abad 16-17) menyadari akan pentingnya proses dalam penemuan tersebut, yaitu metode ilmiah |
(abad 18) terdifusinya sains dari Eropa ke AS (1884-1950) perpindahan ilmuwan dari Eropa ke AS (terutama karena mengamuknya fasisme/anti semitisme) yang mengaklerasi perkembangan ilmu pengetahuan di AS |
(abad 18) terdifusinya ilmu pengetahuan dari Eropa ke Rusia, semenjak itu lahir banyak ilmuwan besar dari Rusia |
(1870an) menyewa lebih dari 3000 tenaga ahli dari barat untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, matematika, teknologi dan bahasa |
Restrukturisasi Sistem Politik dan Kebijakan Publik
|
(abad 17-18) revolusi 1688 di Inggris, dan revolusi borjuis Perancis tahun 1789 |
(1776) revolusi kemerdekaan Amerika |
(1917) revolusi oktober sosialis Rusia |
(1889) konsep ketatanegaraan baru yang bersifat dewan 2 kamar, hasil dari konstitusi Meiji, Perdana Menteri dipilih oleh anggota dewan |
Transformasi Sosial dan Ekonomi
|
(abad 18-19) penemuan mesin uap dan teknologi lain yang mendorong proses mekanisasi yang memicu peningkatan kapasitas produksi |
(1840-1908) dibangunnya jalur kereta api lintas dari barat ke timur, mekanisasi proses pertanian, lahirnya industri minyak, hingga produksi masal kendaraan |
(1867-1928) Kemunculan secara masif sejumlah industri manufaktur dan pabrik-pabrik |
1870-1930 dibangunnya jalur kereta secara masif, lahir industri tekstil, otomotif dan manufaktur lainnya |
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada hakikatnya, 6 tonggak penanda kebangkitan ini juga terjadi dalam proses kebangkitan di Amerika Serikat, Rusia dan Jepang. Ada dua kebijaksanaan yang dapat dipetik dari elaborasi ini. Pertama, setengah (3 dari 6) dari tonggak penanda kebangkitan sejatinya merupakan unsur budaya murni (tidak terkait langsung dengan aspek ekonomi dan politik), seperti revitalisasi budaya, restrukturisasi institusi pendidikan, dan kebangkitan kebudayaan baru. Kedua, pada umumnya kebangkitan peradaban didahului proses revitalisasi budaya. Anomali hanya kita temukan di Amerika Serikat (AS). Hal ini cukup wajar mengingat AS adalah wilayah pendatang, yang relatif tidak memiliki budaya asli. Namun, mereka sangat menyadari pentingnya proses revitalisasi budaya yang ditandai dengan berdirinya Library of Congress tahun 1800. Institusi revitalisasi budaya tertua dan terbesar di AS ini sangat menarik, ia tidak berada di bawah kendali eksekutif, tetapi langsung berada di bawah kongres AS (legislatif). Hal ini menunjukkan kesadaran pentingnya refleksi budaya dalam merumuskan kebijakan.
Kajian sejarah di atas mengajarkan pada mata telanjang kita akan arti penting budaya dalam proses restorasi Indonesia. Persoalannya adalah ini: jika pada masa Orde Lama berlaku doktrin “politik sebagai panglima”, kemudian pada masa Orde Baru, Soeharto memilih “ekonomi sebagai panglima”, maka 12 tahun era reformasi, kita belum kunjung memiliki visi kebangkitan yang jelas. Untuk itu saya mengusulkan agar ke depan, platform dan jalan restorasi Indonesia seyogyanya menempatkan “budaya sebagai panglima”.
Mari kita mencoba meletakannya dalam perspektif sebuah jalan, yang akan lebih kita pahami seiring waktu kita menempuh perjalanan ke depan.
C. Visi Restorasi Indonesia
Kebangkitan bangsa di masa depan sangat ditentukan visi pemimpinnya dalam melihat arah perkembangan dunia. Penting untuk menegaskan kembali bahwa negara bukanlah sebuah “preparat di laboratorium” yang dapat diarahkan secara “trial and error” tanpa visi yang jelas.
Pemimpin harus sudah menyiapkan visi, bahkan jauh sebelum tanggungjawab kepemimpinan dibebankan kepadanya. Namun, potret masa depan lebih sering hadir sebagai sebuah gambaran yang tidak utuh. Tantangan utama seorang pemimpin (yang membedakannya dengan yang bukan pemimpin) adalah membuktikan kemampuannya dalam menerawang masa depan, jauh sebelum masa depan itu kasat mata.
Gambar 2
Lima tantangan masa depan dalam cakram kebangkitan Indonesia.
Berikut ini adalah 5 tantangan yang harus ditaklukan bagi kebangkitan Indonesia di masa depan.
#1 Kenakeragaman/Diversitas dan Kearifan Budaya Indonesia
Ibu Pertiwi kita ialah sebuah negeri kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas berbagai suku dan adat istiadat. Latar belakang ini melahirkan kekayaan budaya yang sangat tinggi. R. E. Elson, seorang peneliti Australia dalam bukunya "The Idea of Indonesia" [34] takjub atas fakta tersebut. Baginya, NKRI adalah sebuah gagasan yang mustahil. Bahan baku yang tersedia bagi kita membangun kesatuan nasional Indonesia terlihat tidak menjanjikan. Ada sejumlah konflik yang muncul akibat keanekaragaman tersebut. Perspektif ini terjadi akibat paradigma “keanekaragaman sebagai masalah”. Kita seyogyanya membalik mindset menjadi “keanekaragaman sebagai kekuatan”.
Keanekaragaman budaya bangsa bisa dibuktikan menyimpan potensi yang begitu dahsyat. Potensi yg sebenarnya muncul sudah sejak ratusan tahun yang lalu di tengah-tengah kita. Di sini akan dihadirkan sejumlah sketsa dari potensi-potensi dahsyat negeri Nusantara itu. Sebagai contoh, Stephen Lansing dengan model simulasi menunjukkan kebijaksaan Subak dalam pengelolaan air di Bali yang begitu kompleks serta mempertimbangkan aspek kultural, lingkungan dan politik [35,36]. Para ahli bangunan berdecak kagum atas kemampuan struktur pemukiman Kampung Naga, di Kabupaten Tasikmalaya, dalam menahan gempa berkekuatan 7,3 skala SR, sementara itu pemukiman luarnya, yang dibangun secara “modern”, menderita rusak parah [37].
Daftar kejeniusan lokal rupanya tidak berhenti di sini. Batik tradisional juga telah menyimpan struktur geometri termuktahir (fraktal), yang di belahan bumi utara baru berkembang beberapa dekade yang lalu saja [38]. Selain itu Dalihan Na Tolu, sistem sosial masyarakat Batak, telah meyakinkan kita bahwa mereka memiliki kebijaksanaan akan tata kemasyarakatan yang mampu menciptakan hubungan harmonis antara indentitas kolektif dan lingkungan sosial [39,40], serta memiliki sistem pencatatan penduduk yang bersifat “real time”. Penelitian yang dilakukan oleh Bandung Fe Institiute (BFI) juga menyimpulkan bahwa sistem birokrasi kerajaan klasik di tanah air menunjukkan bahwa peradaban Indonesia telah mengakuisisi beberapa prinsip dasar tata kelola pemerintahan modern [41], yang berkeseuaian dengan karakteristik Nusantara sebagai negeri kepulauan.
Arsitektur Candi Borobudur pun telah menghasilkan struktur geometri yang begitu menawan karena memenuhi perbandingan konsisten pada skala 4:6:9 pada semua level [42]. Sementara itu, komunitas Suku Bajo di Sulawesi terbukti memiliki kemampuan navigasi yang mengagumkan [43]. Selanjutnya, eksplorasi keanekaragaman lagu tradisional berhasil menciptakan perangkat lunak yang mampu menghasilkan sebuah sekuen lagu baru secara komputasional [44]. Tidakkah kita sebenarnya sedang mewarisi kekayaan yang beranekaragam dan cerdas dari Nusantara?
Kisah di atas menunjukkan potensi “kearifan lokal” dan “kejeniusan lokal” bangsa yang begitu luar biasa. Ia tidak hanya bermanfaat bagi perkembangan budaya, tetapi juga menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, ekonomi, politik dan lingkungan. Keragaman kultural menjadi landasan dasar dalam merumuskan platform dan jalan restorasi Indonesia. Pada peran ini, desa, sebagai unit administrasi pemerintahan terkecil berperan penting dalam proses penggalian “kearifan lokal” dan “kejeniusan lokal” tersebut.
#2 Era Ekonomi Berbasis Inovasi dan Kreatifitas
Sistem ekonomi sebagaimana produk-produk manusia selalu mengalami proses evolusi. Jika kita menyempatkan diri untuk menyimak Journal of Knowledge Management , kita akan mendapati bahwa sebenarnya terdapat 3 fase evolusi sistem ekonomi yang pernah dan sedang ditempuh oleh manusia. Ketiga fase itu adalah: “ekonomi berbasis manufaktur”, “ekonomi berbasis teknologi” serta “ekonomi berbasis inovasi dan kreativitas” [45].
Meningkatnya intensitas persaingan dan revolusi informasi menyebabkan terjadinya difusi teknologi. Sebagai salah satu sketsa, sekarang ini kemampuan membuat ponsel tidak lagi didominasi oleh negara –negara industri barat. China, Taiwan, Korea Selatan, India, dan negara-negara lain juga telah mampu mengadopsi teknologi tersebut. Sebagai konsekuensinya, intensitas persaingan teknologi mendorong terjadinya penurunan harga produk teknologi (hardware), khususnya information technology. Tantangan ekonomi ke masa depan tidak lagi berpusat pada teknologi tetapi bagaimana mengisinya (content technology). Kita memasuki era “ekonomi berbasis inovasi dan kreativitas”. Sebagai contoh, Google, Facebook, Wikipedia dan Youtube tidaklah superior dari sisi teknologi, tetapi memiliki muatan yang penuh kreativitas.
Dengan begitu, tren ekonomi global ke depan tidak lagi berpusat pada permasalahan produksi (manufaktur) dan teknologi semata. Hal ini mengharuskan terbitnya kesadaran di kalangan para pengambil kebijakan di tanah air. Paling kurang terdapat dua faktor kunci yang harus diperhatikan. Faktor pertama, daya saing pada era tersebut berkaitan langsung dengan tingkat keanekaragaman, baik keanekaragaman pasar maupun keanekaragaman produk. Scott E. Page telah menunjukkan bagaimana keanekaragaman dapat menjadi kekuatan dalam perkembangan perusahaan, ekonomi dan masyarakat [46].
Dalam kasus Indonesia, kita memiliki keanekaragaman pasar yang begitu superior, namun memiliki keanekaragaman produk yang sangat rendah [47]. Ini adalah sebuah PR yang harus diselesaikan. Faktor kedua adalah perkembangan teknologi komputasi. Isu hak cipta, yang mengerucut pada gerakan OSS, memungkinkan terjadinya pengembangan konten multimedia secara masif. Ia memicu perkembangan teknologi web 2.0 [48], seperti pada bidang blogging (blogspot, wordpress, dll), jaringan sosial (facebook, friendster, dll), basis data (wikipedia, dll), dan galeri (deviantart, dll).
Perkembangan ini terus berlanjut, misalnya dalam bentuk iPad, yang merupakan versi termutakhir dari teknologi web 2.0 [49]. Tren ini harus dimanfaatkan dalam memperluas lanskap inovasi dan kreativitas. Kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk mendorong penggunaan teknologi informasi dalam rangka peningkatan sektor produksi dan distribusi, bukan sektor konsumsi seperti yang terjadi selama ini.
Pada era yang paling baru ini, artefak-artefak budaya tradisional, yang pada awalnya dianggap tidak bernilai, menjadi sangat berharga. Kita bisa melihat hal pada langkah Adidas yang memanfaatkan batik sebagai motif batik jaket, baju dan sepatu dalam program “materials of the world”.
Tren global telah menyeret tiap-tiap orang ataupun komunitas untuk terus bergerak mencari sumber-sumber inovasi baru. Latar belakang inilah yang menyebabkan sengketa kepemilikan budaya terus terjadi berulang-ulang. Tak terhindarkan lagi, dalam persaingan global ke depan kita akan dihadapkan pada sengketa perebutan sumber daya budaya, selain konflik atas sumber daya alam dan sumber daya manusia. Inilah wajah termutakhir dari peperangan dan kompetisi yang tengah berkecamuk dalam tren sosial ekonomi terbaru.
#3 Revolusi Dalam Pendekatan Kuantitafif
Perkembangan termutakhir di atas menuntut cara berpikir yang revolusioner dalam tradisi ilmiah, karena dunia sudah tidak serupa dulu lagi. Inilah yang akan saya singgung pada tantangan ke tiga ini.
Saya akan memungut satu contoh pada satu peristiwa di belahan bumi utara untuk memulai telaah kita tentang revolusi tradisi ilmiah, khususnya dalam pendekatan kuantitatif.
Di tengah puncak Perang Dunia ke 2, tepatnya pada tahun 1942, sebuah operasi rahasia dijalankan di New Mexico, Amerika Serikat. Sejumlah ilmuwan dikumpulkan untuk membuat bom atom dalam waktu yang sangat cepat. Proyek ini, yang dikenal dengan nama "Manhattan Project" [50], berjalan dengan sukses dan menjadi faktor kunci yang mengantarkan Amerika Serikat menjadi negara adikuasa [51].
Tak lama setelah itu, keberhasilan Manhattan Project kemudian dijadikan model yang dikembangkan di Los Alamos National Laboratory. Di Los Alamos mereka membangun sejumlah riset muktahir di berbagai bidang seperti keamanan nasional, ruang angkasa, energi terbarukan, nano-teknologi, super komputer dan lain sebagainya.
Begitu juga di penghujung Perang Dingin, sejumlah ilmuwan di Los Alamos National Laboratory mendirikan sebuah lembaga penelitian Santa Fe Institute [52], yang selanjutnya berkembang menjadi pionir dalam studi kompleksitas (sebuah studi multidisipliner atas fenomena sosial dan lingkungan yang menembus batas pemisah –dan sekaligus menggabungkan—pendekatan ilmu alam dengan ilmu sosial).
Ada 2 pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah sukses pendirian lembaga-lembaga di atas. Pertama, pola penelitian yang digunakan. Sebuah permasalahan tidak didekati secara mono-dimensional tetapi lintas disiplin. Permasalahan kanker, misalnya, tidak hanya menjadi lanskap kajian ilmu medis semata, tetapi melibatkan sejumlah fisikawan, ahli komputasi, pakar kimia hingga matematikawan. Model ini berhasil mengakselerasi jumlah dan kecepatan inovasi ilmiah yang dihasilkan. Kedua, berkembang perspektif kompleksitas: cara pandang terhadap sistem dengan melihat interaksi elementer di dalamnya, bukan agregasi semata.
Di lain pihak, perkembangan perangkat komputasi turut serta mengakselerasi perspektif tersebut. Telah lahir sejumlah pendekatan baru seperti ekonofisika, sosiofisika, biologi-evolusioner, studi politik komputasional dan lain sebagainya. Kelahiran cara pandang dan pendekatan baru dalam upaya manusia untuk memahami kompleksitas dunia dan mengubah dunia inilah yang pada gilirannya memicu revolusi dalam pendekatan kuantitatif.
Dengan begitu, para penga
May 1997 Increasing numbers of Indonesians are daring to oppose the government despite the harsh penalties.
Dalam tulisannya di harian ini, Pramono Anung menengarai sejumlah persoalan praktis dan sistemik di sekitar isu "reshuffle" kabinet....
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
Berita tentang Budiman Sudjatmiko dan hal-hal lain yang menjadi perhatiannya.
© 2023 Budiman Sudjatmiko • kontak / privacy policy / terms |